"Saya melihat dengan hati, nak"
"Lalu apa arti mata ini untukku?"
Masih dengan senyumnya dia menjawab,Â
"Untukmu menulis. Ibu lihat tanganmu tak memiliki mata".
Kemudian dia memasangkan kedua mata itu di tanganku. Saat aku mematut-matutkan kedua tanganku di depan kaca jendela, tanpa kusadari ibu tua itu pergi. Kucari dia disekitar teras rumah, namun jangankan sosoknya, jejaknya pun tak ada.Â
Aku terus mencari ibu tua itu sampai ke luar rumah, tapi sia-sia. Tak ada seorang pun di sekitar situ melihatnya pergi.
Kini kedua tanganku tersemat dua mata. Sejak terpasang, semua huruf saat dicurahkan benak tak luput dari tatapan selidik. Dibuatnya mereka patuh pada nurani. Tiap huruf dipilih dan diletakkan hati-hati pada simpul kebenaran dan diaturnya sesuai makna. Dia tak mau kata-kata itu menjadi budak kebohongan yang banyak menawarkan kenikmatan duniawi.
Secara diam-diam aku sering bicara dengan mata tangan. Kami selalu bertemu di ruang benak, atau saat aku berpeluh menyusun kata. Dari situ kami sepakat setiap tulisanku juga harus bisa dibaca orang lain dengan telinga.
----Â
Peb/Nov2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H