Jakarta menempati urutan pertama kota paling macet di Indonesia, dan kota macet urutan ke 22 di dunia. Celakanya untuk kategori negara Indonesia menempati urutan ketiga. Data ini dirilis INRIX, sebuah lembaga penganalisi data kemacetan lalu lintas yang berbasis di Washington, AS (sumber berita kompas.com).  Data itu merupakan realitas walau tak seorangpun mau terjebak macet lalu lintas, karena macet itu menyebalkan. Emosi dan energi terkuras secara sia-sia di jalanan. Orang yang tadinya tak berniat melakukan dosa, kemudian berbuat berdosa. Kok bisa? Terjebak kemacetan bisa membuat orang lost control, emosi tak terkendali  dan kemudian mengeluarkan makian atau umpatan.
Orang bepergian selalu menginginkan perjalanan yang lancar, aman dan nyaman. Pada masa kini, hal tersebut telah jadi bagian dari 'kebutuhan dasar' manusia modern, khususnya di wilayah perkotaan. Dengan dasar itu orang bepergian dapat menjaga energinya tidak terkuras, menjaga psikologisnya (emosi, mood, spirit. dan lain-lain) sejak awal berangkat sampai ke tujuan secara positif. Dengan begitu dia dapat membangun atau menciptakan banyak hal positif bagi dirinya dan orang-orang di lingkungannya.
Lalu lintas kota yang lancar, aman serta nyaman merupakan salah satu parameter kualitas kota. Masalah kemacetan yang tak tertangani bisa mengurangi nilai, bahkan menurunkan gengsi sebuah kota diantara kota-kota lainnya di tingkat regional dan dunia. Tak heran bila otoritas kota dalam hal ini pemerintah dibantu stage holder dan masyarakat berusaha mengurangi atau meniadakan permasalahan macet demi mewujudkan kualitas kota yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan RideSharingyang bisa diartikan suatu bentuk transportasi, selain angkutan umum, dimana lebih satu orang berbagi penggunaan kendaraan seperti van, atau mobil untuk perjalanan.
Tahun 1996 saya bekerja sebagai junior architect di sebuah kantor konsultan arsitektur di kawasan Benhil Jakarta. Ada tiga orang arsitek senior di kantor tinggal di Parung-Bogor, Tangerang dan Bekasi. Yang dua orang menggunakan Omprengan---numpang mobil sesama pekerja dari Tangerang dan Bekasi. Kedua orang senior itu tiap hari menunggu di suatu tempat tertentu (saya lupa namanya tempatnya) untuk menuju Jakarta. Kalau pulang yang saya ingat mereka menunggu si sekitar jembatan penyeberangan jalan Sudirman yang relatif  tak jauh dari kawasan Benhil.
Sementara senior yang bertempat tinggal di Parung-Bogor menggunakan "kendaran sewa tetap", yakni  sebuah bis mini (carry) yang mereka sewa secara bulanan. Di Parung-Bogor kebetulan dia tinggal di komplek perumahan yang kebanyakan penguninya bekerja di Jakarta. Pada pagi hari jam tertentu sesuai kesepakatan bersama, mobil itu menunggu di depan komplek perumahan untuk kemudian mengantar rombongan ke Jakarta. Titik perhentiannya di Dukuh Atas sekitar gedung Citibank. Â
Demikian juga kalau pulang, mobil itu menunggu di situ. Saat pagi berangkat dan pulang ada kesepakatan jam tunggu. Bila lewat dari jam tersebut maka akan ditinggal. Kondisi itu membuat mereka menjadi sangat disiplin terhadap waktu kerja. Mereka rata-rata datang ker kantor paling pagi dan pulang tepat waktu. Begitu waktu  pulang menunjukkan pukul 16.30, mereka segera isi absen pulang dan ngacir ke pangkalan karena takut ditinggal "bis sewa". Kalau terpaksa ada lembur, maka mereka lebih memilih nginap di kantor. Hahahaha!
Ketiga orang senior architect itu sebenarnya punya mobil pribadi. Tapi setelah mereka hitung-hitung, cara itu lebih menghemat tenaga dan ongkos bensin bulanan. Untuk mobilitas terkait urusan kantor di Jakarta sudah ada mobil operasional kantor, atau naik taxi yang biayanya ditanggung kantor. Satu hal yang menarik, mereka selalu mendapatkan hal-hal baru (referensi) tentang berbagai hal dari sesama penumpang (comuter) yang mereka ceritakan lagi di kantor. Selain itu mereka mendapat kawan baru, terjalin relasi dan silaturahmi, dan selama perjalanan selalu bercanda dan rileks. Suasana perjalanan pergi-pulang kantor lebih rekreatif.
Kalau dihitung-hitung, pilihan moda angkutan ketiga orang senior saya itu sebenarnya sudah menghemat pengguna ruang jalanan Jakarta sebanyak tiga mobil. Bayangkan kalau ketiganya bawa mobil pribadi, selain menambah sumpek parkiran kantor --- yang bila ada tamu seringkali memakai pinggiran jalan ---- juga menambah potensi kemacetan jalanan Jakarta.
Secara arsitektural (lihat buku Architect Data, Neufert), seorang manusia "hanya" membutuhkan ruang privat cuma seluas 60cmx60cm=360 cm2 atau sekitar 0,36m2. Luasan itu tak lebih dari 1m2! Â Sebuah mobil misalnya sejenis Avanza luasnya = panjang 4,190m x lebar 1,660 m = 6,9554m2 (sumber data). Bila orang itu menggunakan mobil Avanza sendirian maka dia memakai ruang 6,9554m2. Padalah kebutuhannya hanya 0,36m2. Artinya dia menyita ruang publik sebanyak 6.5954m2 (6,9554m2-0,36m2 =6.5954m2). Hal ini untuk satu orang satu kendaraan Avanza, belum 3 orang pekerja kantor (tiga Avanza), belum lagi bila ribuan orang dalam satu waktu yang sama di jalanan! Tentu banyak makin banyak menyita ruang publik seperti jalanan. Maka tak heran jalanan kota selalu penuh kendaraan dan berpotensi besar membuat kemacetan terutama pada saat jam sibuk.
Apa yang digambarkan dalam video UBER Boxes Sunrisesangat jelas dan tepat dengan uraian diatas. Video itu menyajikan gambaran setiap orang menggunakan kendaraan pribadi mini yang ukurannya lebih kecil dari mobil pribadi pada umumnya. Dengan mobil mini saja sudah begitu banyak ruang publik terbuang percuma apalagi bila dipenuhi jenis kendaran pribadi masa kini yang ukurannya lebih besar ditambah  adanya ulah tidak tertib setiap orang berkendaraan pribadi beserta beragam faktor kemacetan yang muncul. Selain itu faktor tempat/ruang parkir semakin terbatas tak mampu mendukung jumlah kendaraan semakin banyak. Dari semua itu yang terciptan dan terlihat adalah kehidupan jalanan kota yang sangat menyebalkan, tidak manusiawi, dan mengerikan.
Konteks Video UBER Boxes Sunrise memperlihatkan sebuah kekacauan di ruang publik kota khususnya jalanan umum--yang notabene merupakan desain jalan dan superblok modern-- sehingga kondisi kota modern tersebut menjadi tidak berkualitas. Akankah hal tersebut dibiarkan terus terjadi, sementara sejatinya segala sesuatunya bisa direncanakan lebih baik untuk mencegah terjadinya kemacetan atau kekacauan di jalanan?
Konsep RideSharing merupakan salah satu solusi jitu untuk mencegah crowded di jalanan dan ruang publik. Kalau pada era 1990-an konsepnya masih konvensional berupa 'mobil omprengan' kini RideSharing lebih maju dengan penggunaan aplikasi via smartphone. Dengan aplikasi itu, energi bisa lebih dihemat.Â
Kalau merujuk pada perbandingan pengalaman teman kantor saya dulu, mereka tak perlu terburu ngacir ke titik berkumpul (car pool) karena takut ditinggalkan, atau terpaksa nginap di kantor karena sudah kadung pulang malam dan ditinggalkan mobil bersama. Dengan aplikasi RideSharing yang mobile maka kendaraanlah yang datang ke titik terdekat pemesannya. Disisi lain, maka RideSharing dengan aplikasi tersebut bisa digunakan pekerja yang memiliki mobil yang ingin sekalian menambah penghasilan. Uang yang didapatkan langsung masuk ke tabungan dibank, tidak dalam bentuk cash yang bisa menggoda dan habis di jalanan.
Konsep RideSharing dengan aplikasi mobile menempatkan setiap orang menjadi orang merdeka ketika sedang membutuhkan moda angkutan. Bukan kebutuhan itu yang menyandera dan menguras energi orang tersebut. Mereka bahkan bisa mendapatkan referensi dan suasana rekreatif dalam RideSharing. Bukankah orang-orang baru yang ditemui dalam RideSharing itu jadi teman baru yang membawa wawasan baru?
Kini saatnya kita tak lagi menjadi aktor kemacetan dan perusak kualitas kota seperti dalam Video UBER Boxes Sunrise.Itu mah bukan ngeri-ngeri sedap, melainkan Ngeriiiii kali, bah! Heu heu heu....
----
Peb12/11/2017
Referensi pendukung :
Soal kemacetan Jakarta duduki peringkat ke-22 di dunia
Indonesia merupakan negara termacet kedua dunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H