Tragedi kemanusiaan etnis Rohingya-Myanmar jadi salah satu isu besar terkini di negara kita. Isu itu bukan semata membangunkan rasa kemanusiaan elemen bangsa ini, namun merambat ke persoalan politik. Sebagian publik punya perhatian murni kemanusiaan, sedangkan sebagian golongan memanfaatkannya untuk memojokkan pemerintahnya sendiri.
Tidak semua publik memahami secara utuh persoalan di Rakhine, Myanmar. Dan tak sepenuhnya pula mengerti dinamika politis dan sejarahnya sehingga kini jadi persoalan kompleks bangsa Mynamar. Namun demikian mereka berteriak keras terhadap pemerintah.
Kompleksitas persoalan yang sudah lama terjadi disana dicuplik pada bagian-bagian tertentu oleh sekelompok orang untuk kepentingan politisnya di tanah air ini. Bagian itu disodorkan ke sebagian publik yang tidak lengkap memahami persoalan. Jadilah suhu politik dalam negeri kita menghangat, baik di dunia maya maupun nyata.
Sebenarnya informasi tentang Rohingya sudah tersedia banyak, tinggal memilah dan memilih sumber valid agar bisa berpikir jernih--setidaknya--ketika rasa simpati dan empati kemanusiaan muncul tidak disertai tuduhan pada pemerintah sendiri sebagai pihak "yang paling bertanggung jawab" pada tragedi kemanusiaan di Myanmar tersebut.
Kondisi sosiopolitis negara ini memang sedang "demam" demokrasi. Setiap orang punya hak bersuara. Namun seringkali tidak didukung pengetahuan cukup pada fakta, data dan informasi valid tersebut. Kelemahan malas membaca, tak mau repot mencari informasi valid, dan hal-hal terkait literasi menjadikan mereka tidak tepat mensikapi isu kemanusian di Myanmar. Hal inilah yang dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan politisnya. Dan celakanya menjadikan sebagian publik cenderung "membakar rumah sendiri ketika melihat "kebakaran di tempat tetangga".Â
Energi pemerintah terbagi dua. Pertama, sebagai negara terpandang di kawasan ASEAN dan punya hubungan historis harus turun tangan membantu Myanmar. Kedua, mengamankan gejolak dalam negeri sendiri akibat gelombang massa yang ingin bertindak sendiri di luar koridor etika diplomatik internasional.
Aspek sejarah hubungan Myanmar-Indonesia, kesamaan atau relasi sosial-budaya-religi pada etnis Rohingya, solidaritas sesama anggota ASEAN jadi dasar pemerintah Indonesia melakukan langkah kemanusiaan dan politis untuk membantu konflik di Myanmar. Pemerintah sudah terlebih dahulu bekerja sebelum publik "teriak-teriak".
Dalam hal membantu negara tetangga bukan persoalan baru bagi negara kita. Sejak era pemerintahan Soekarno, Soeharto, dan seterusnya hingga pemerintahan Jokowi sudah dilakukan pada berbagai peristiwa kemanusiaan. Tentunya, bantuan diberikan sesuai etika diplomatik internasional.Â
Gerak sigap dan empati Indonesia sejak dahulu itulah yang membuat negara kita disegani di kawasan regional dan dunia internasional. Masing-masing persoalan negara tetangga atau negara jauh sekalipun yang mengalami persoalan dibantu dengan metode tersendiri. Demikian juga persoalan Myanmar yang relatif tertutup karena dikuasai oleh Junta Militer. Butuh strategi diplomasi tertentu agar bisa membuak dialog, memberi bantuan pemikiran dan barang.Â
Trik diplomasi Indonesia tak serta merta bisa terbuka dalam hiruk pikuk pemberitaan media karena sifat tertutup rezim pemerintahan Myanmar sendiri. Namun demikian, dunia Internasional tahu yang sedang dilakukan pemerintah Indonesia. Dunia Internasional pun berharap banyak pada Indonesia sebagai perintis jalan dialog diplomatik mengingat ikatan sejarah Indonesia-Myanmar yang panjang.Â
Secara historis, sejak era pemerintahan Soekarno, Myanmar (dahulu Burma) dan Indonesia sudah bersahabat akrab. Soekano bahkan pernah mengatakan "Burma sebagai kawan dalam perjuangan dan perwujudan kemerdekaan sejati". Burma salah satu negara pertama yang mendukung tegaknya kemerdekaan Indonesia. Mereka menolak secara politis agresi Belanda ke Indoensia pasca proklamasi  kemerdekaan RI. Dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Burma mengijinkan pesawat RI Dakota RI-001 "Seulawah", mendarat di negaranya pada 26 Januari 1949 dan kemudian disewa oleh Union of Burma Airways. Ini jadi cikal bakal berdirinya maskapai penerbangan RI yang pertama (Garuda).
Setelah secara resmi Burma merdeka 1948, kedua negara secepatnya membangun hubungan diplomatik. Kedutaan didirikan di ibukota masing-masing. Hal ini memperkokoh eksistensi kedua negara di dunia Internasional sebagai negara merdeka.
Ketika kini politk dalam negeri Myanmar bergolak dibawah rezim junta militer yang otoriter, secara moril Indonesia terpanggil membantu. Tentunya tetap dalam kaidah etika diplomatik, bukan serta merta melakukan aksi militer atas nama kesamaan agama. Bila aksi tersebut dilakukan Indonesia, maka persoalan makin keruh dan meluas yang memakan banyak korban bukan hanya di wilayah State Rakhine yang sebagian besar beragama Islam, namun bisa merambat ke wilayah lain yang sementara ini aman. Wilayah lain tersebut juga dihuni oleh masyarakat muslim. Perlu diketahui di Myanmar saat ini, wilayah lain tidak mengalami "konflik agama", (silahkan baca juga tulisan kompasianer Wahyu Handoko ; "Melihat Myanmar dari Mata Datar".Â
Soal aksi militer atau sejenisnya, pemerintah RI perlu mewaspadai ormas dalam negeri yang berniat melakukan perlawanan/pembelaan agama di wilayah konflik. Hal ini bisa memperburuk keadaan di sana, dan juga hubungan diplomatik Myanmar-Indonesia. Hal yang sebelumnya telah dilakukan pemerintah Indonesia di Myanmar akan kadi sia-sia.Â
Realitas persoalan etnis Rohingya Myanmar telah bikin hangat iklim politik dalam negeri kita. Energi pemerintah mau tidak mau ikut terkuras mengamankan elemen masyarakat yang emosional dan rentan melakukan tindakan destruktif di dalam negeri. Terlebih adanya gerakan-gerakan kelompok politis dibelakangnya yang bertujuan menjatuhkan krebilitas pemerintah di mata rakyat.Â
Secara politis, peta itu jadi PR besar pemerintahan Jokowi untuk melakukan penguatan mental masyarakat agar rasa empati kemanusiaan bersama tidak mudah disusupi kepentingan politis yang bisa merugikan kehidupan sosial budaya masyarakat majemuk negeri ini yang rentan dicabik-cabik dengan sentimen SARA. Langkah penguatan dilakukan di satu sisi, sembari terus melakukan bantuan ke Myanmar dan  memberikan informasinya ke publik tanah air.Â
Sejumlah aktor politik muncul--secara sadar atau tidak--di tengah kusut dan keruhnya informasi tragedi kemanusiaan Rohingya. Mereka itu perlu dapat perhatian khusus agar "tidak menjadi dalang pembakar rumah sendiri ketika rumah tetangga terbakar". Â
Tragedi Rohingya merupakan tragedi kemanusian. Kita sebagai anak bangsa sepakat mengutuk dan membantu secara nyata. Dalam hal tersebut apa yang sedang dilakukan pemerintah beserta stakeholder-nya haruslah kita dukung secara penuh, bukan dengan menciptakan friksi berdasarkan kepentingan politik sempit dari kelompok-kelompok oportunis.
----Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H