Secara historis, sejak era pemerintahan Soekarno, Myanmar (dahulu Burma) dan Indonesia sudah bersahabat akrab. Soekano bahkan pernah mengatakan "Burma sebagai kawan dalam perjuangan dan perwujudan kemerdekaan sejati". Burma salah satu negara pertama yang mendukung tegaknya kemerdekaan Indonesia. Mereka menolak secara politis agresi Belanda ke Indoensia pasca proklamasi  kemerdekaan RI. Dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Burma mengijinkan pesawat RI Dakota RI-001 "Seulawah", mendarat di negaranya pada 26 Januari 1949 dan kemudian disewa oleh Union of Burma Airways. Ini jadi cikal bakal berdirinya maskapai penerbangan RI yang pertama (Garuda).
Setelah secara resmi Burma merdeka 1948, kedua negara secepatnya membangun hubungan diplomatik. Kedutaan didirikan di ibukota masing-masing. Hal ini memperkokoh eksistensi kedua negara di dunia Internasional sebagai negara merdeka.
Ketika kini politk dalam negeri Myanmar bergolak dibawah rezim junta militer yang otoriter, secara moril Indonesia terpanggil membantu. Tentunya tetap dalam kaidah etika diplomatik, bukan serta merta melakukan aksi militer atas nama kesamaan agama. Bila aksi tersebut dilakukan Indonesia, maka persoalan makin keruh dan meluas yang memakan banyak korban bukan hanya di wilayah State Rakhine yang sebagian besar beragama Islam, namun bisa merambat ke wilayah lain yang sementara ini aman. Wilayah lain tersebut juga dihuni oleh masyarakat muslim. Perlu diketahui di Myanmar saat ini, wilayah lain tidak mengalami "konflik agama", (silahkan baca juga tulisan kompasianer Wahyu Handoko ; "Melihat Myanmar dari Mata Datar".Â
Soal aksi militer atau sejenisnya, pemerintah RI perlu mewaspadai ormas dalam negeri yang berniat melakukan perlawanan/pembelaan agama di wilayah konflik. Hal ini bisa memperburuk keadaan di sana, dan juga hubungan diplomatik Myanmar-Indonesia. Hal yang sebelumnya telah dilakukan pemerintah Indonesia di Myanmar akan kadi sia-sia.Â
Realitas persoalan etnis Rohingya Myanmar telah bikin hangat iklim politik dalam negeri kita. Energi pemerintah mau tidak mau ikut terkuras mengamankan elemen masyarakat yang emosional dan rentan melakukan tindakan destruktif di dalam negeri. Terlebih adanya gerakan-gerakan kelompok politis dibelakangnya yang bertujuan menjatuhkan krebilitas pemerintah di mata rakyat.Â
Secara politis, peta itu jadi PR besar pemerintahan Jokowi untuk melakukan penguatan mental masyarakat agar rasa empati kemanusiaan bersama tidak mudah disusupi kepentingan politis yang bisa merugikan kehidupan sosial budaya masyarakat majemuk negeri ini yang rentan dicabik-cabik dengan sentimen SARA. Langkah penguatan dilakukan di satu sisi, sembari terus melakukan bantuan ke Myanmar dan  memberikan informasinya ke publik tanah air.Â
Sejumlah aktor politik muncul--secara sadar atau tidak--di tengah kusut dan keruhnya informasi tragedi kemanusiaan Rohingya. Mereka itu perlu dapat perhatian khusus agar "tidak menjadi dalang pembakar rumah sendiri ketika rumah tetangga terbakar". Â
Tragedi Rohingya merupakan tragedi kemanusian. Kita sebagai anak bangsa sepakat mengutuk dan membantu secara nyata. Dalam hal tersebut apa yang sedang dilakukan pemerintah beserta stakeholder-nya haruslah kita dukung secara penuh, bukan dengan menciptakan friksi berdasarkan kepentingan politik sempit dari kelompok-kelompok oportunis.
----Â