Apa yang anda pikirkan tentang pertemuan Agus Yudhoyono (AHY) dengan Jokowi dan Gibran-anak Jokowi di Istana Negara kemarin?Â
Banyak komen netizen dan ulasan panjang di berbagai media sosial, baik yang memuji maupun "nyinyir". Hampir semuanya  mengupas dan ada yang menyertakan bumbu"meme" tentang apa yang dilihat (diberitakan media). Semua orang merasa sah-sah saja melakukannya. Alam demokrasi di dunia maya telah memberi ruang permisif yang luas untuk para netizen "berpesta" terhadap suatu fenomena tokoh publik.Â
Mempertanggungjawabkan Wild CardÂ
Nama AHY mencuat setelah ikut dalam perebutan kursi DKI 1. Padahal sebelumnya AHY relatif tidak terdengar-terutama di dunia politik tanah air. Publik kemudian dibikin "kaget" saat dia keluar "mendadak" dari kedinasan TNI dan langsung 'nyalon' di Pilgub DKI.Â
AHY keluar dari TNI ketika karier sedang menanjak. Itu dulu. Kini dia telah menjadi bagian dari dunia politik--sebuah habitat baru yang jauh berbeda dengan dunia militer.  Dia beruntung masuk ke entitas politik karena dapat "wild card" atas dukungan SBY-ayahnya  yang ketua partai Demokrat dan mantan Presiden dua periode.Â
Sebagian orang memandang sebelah mata sosok politis AHY. Wild card yang dia peroleh pun jadi bahan cibiran. Sebenarnya, soal "wild card" itu tak perlu diperdebatkan lagi karena toh sekarang dia telah berada di level utama kompetisi politik dimana pesertanya sudah memilik nama besar dalam dunia politik.Â
AHY sadar posisinya sebagai orang baru di level kompetisi tingkat atas. Di situ dia hanya "bintang kecil" di langit luas penuh bintang besar perpolitikan elit negeri ini. Untuk menjadi juara dalam kompetisi dalam waktu dekat ini mungkin masih jauh dari jangkauan. Namun sampai ke posisi itu bukanlah hal yang tidak mungkin. Ini hanya persoalan waktu dan momentum.Â
Untuk mencapainya hal yang dilakukan AHY adalah menjaga "suhu kamar" atau "iklim kompetisi" agar mampu terus berada di level kompetisi tingkat atas--yang suhunya seringkali tidak stabil secara ekstrim-- sembari dia melihat segala kemungkinan menapaki sedikit-demi sedikit klasmen kompetisi elit tersebut.Â
Kini sebagai manusia politik dia terus menjaga "suhu kamar" itu. Dia singkirkan rasa malu menjambangi orang-orang politis yang berada di klasmen atas kompetisi. Dia buang sifat "mutungan" atas segala cibiran publik yang tertuju pada setiap langkahnya. Dia pun bisa bersikap santai ketika didera  kegagalan (pilgub DKI lalu). Intinya dalam menjaga "suhu kamar" adalah menciptakan kondisi setiap langkah positifnya bisa menjadi bagian dari perhatian publik negeri ini.
Dalam dokrin tempur militer, mempertahankan tiap jengkal tanah atau maju merebut setiap jengkal tanah adalah modal yang dia terapkan dalam politik. Dalam ilmu dagang, margin keuntungan tak perlu besar namun kontinyu dan harus dari banyak varian produk jualan.Â
AHY mendirikan "The Yudhoyono Istitute" yang saat ini fokus pada generasi mudah di seluruh tanah air adalah bagian dari strategi merebut setiap jengkal tanah. Bertemu Jokowi walau diterima secara non-formil adalah cara mendapatkan margin keuntungan kecil namun strategis mengingat Jokowi kini adalah orang nomor di negeri ini. Bertemu dan dijamu bubur lemu oleh Gibran-orang muda nomor satu negeri ini adalah bonus dagang dan kemenangan tempur sejengkal yang penuh makna. Semua itu disorot kamera dan beragam komentar publik, artinya AHY telah menciptakan perhatian publik negeri ini. Dan labih dari itu, AHY sedang menjaga "suhu kamar" untuk karier politiknya di level kompetisi elit.Â
Ketika publik netizen ramai membicarakan jamuan bubur-gudeg Gibran, membandingkan sepatu Gibran dan AHY, cara duduk mereka berdua, model pakaian serta cibiran pantas atau tidak pantas AHY bertemu Jokowi maka "Masuk barang tu, Gus! Ngeri-ngeri sedap, bah! Â Heu..heu..heu...
----Â
Peb12/8/2017
Referensi berita kompas.com ; Satu, Dua, TigaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H