Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Full Day School, Antara Langkah Strategis, Realitas dan Ironis

15 Juni 2017   13:03 Diperbarui: 15 Juni 2017   19:16 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Program "Full Day School" yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menuai polemik dalam masyarakat. Muncul sejumlah kritik terhadap kebijakan program tersebut.

Antara Kementrian Dikbud (pemerintah) dengan masyarakat terjadi beda pemahaman. Di dalam gambaran umum masyarakat program "Full Day School" adalah proses belajar-mengajar selama 8 jam sehari di sekolah dari hari Senin sampai Jum'at.

Program itu mengkondisikan siswa-guru secara penuh berada dalam kelas. Terbayang suasana menjemukan dan melelahkan, baik guru maupun siswa. Mereka masuk jam 7 pagi dan pulang jam 3 siang menjelang sore, mirip waktu kerja orang kantoran. Sisa waktu usai sekolah, siswa tidak bisa melakukan kegiatan lain karena tubuh lelah dan sisa waktu pun sangat pendek-mendekati malam. Banyak hal yang dulunya bisa dilakukan siswa dan guru usai sekolah namun karena program tersebut bakal tidak bisa dilakukan lagi.

Penjelasan kementerian berbeda dengan pemahaman masyarakat. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, program Full Day School adalah sebagai berikut;
Pertama, adanya program "Full Day School" merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), dan bukan menambah mata pelajaran. Artinya jam tambahan sekolah tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan karakter.

Kedua, proporsi program lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen, dan pengetahuan 30 persen.

Ketiga, berkaitan dengan guru, fungsi delapan jam tidak berarti guru mengajar, tapi bisa juga mengawasi aktivitas murid. Delapan jam tidak berarti selamanya di dalam kelas, tapi juga di luar sekolah. Siswa bisa menjadikan lingkungan seperti tempat ibadah, lapangan sepak bola, museum, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya, sebagai sumber belajar.

Keempat, kegiatan sekolah selama 8 jam dari Senin sampai Jumat sifatnya tidak wajib dan tergantung kesiapan pihak sekolah bersangkutan.

Kelima, penerapan kebijakan program dilaksanakan secara bertahap dan disesuaikan dengan kapasitas sekolah.

sumber gambar; femaleradio.co.id
sumber gambar; femaleradio.co.id
Tantangan dan Konsekuensi Program

Apa yang dipikirkan masyarakat memang berbeda dalam hal konten program, namun hal itu tidak mengubah masalah durasi 8 jam bersekolah. Bagi masyarakat, materi dalam proses sekolah merupakan urusan sekolah. Namun masalah waktu berkaitan dengan kepentingan pihak keluarga dan anak-anak mereka.

Setiap keluarga punya kemampuan ekonomi, kepentingan, karakteristik, kultur, dan "ambisi" yang saling berbeda satu sama lain. Semua itu tentunya berkaitan dengan keberadaan dan waktu anak mereka di sekolah dan di rumah.

Lamanya durasi sekolah perhari membuat masyarakat tidak bisa memberikan program pendidikan lain pada anak-anak mereka, misalnya ; membantu kerja orang tua di sawah/ladang/toko/rumah, memberikan waktu untuk ikut sekolah agama, memberikan les tambahan sesuai minat dan bakat anak-anak, dan lain sebagainya.

Pada sebagian keluarga di kota besar yang mampu dan memiliki fasilitas serta program yang ketat pada anak-anak mereka, program "Full Day School" tidak menjadi masalah. Sebelum program pemerintah itu diluncurkan, para keluarga mampu itu sudah menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah unggulan berbiaya besar yang menerapkan sistem sekolah itu "Full Day School". Sekolah itu sudah punya program yang jelas, dukungan staf pengajar dan fasilitas sekolah untuk melaksanakannya. Dan hebatnya, pihak keluarga masih juga sempat memberikan les atau kursus tambahan diluar jam sekolah demi pengembangan bakat anak dan "kepentingan" keluarga.

Bila melihat penjelasan kementrian pendidikan dan kebudayaan, maka sekolah ungulan dan berbiaya besar sudah menjalankan hampir seluruh konten yang dimaksudkan. Lalu, bagaimana dengan "sekolah-sekolah biasa" saja, khususnya di daerah pedalaman yang serba terbatas sarana dan tenaga pendidiknya?

Bisa jadi prinsipnya "tidak ada yang tidak bisa" selagi mau. Dengan melihat bahwa "kegiatan pengembangan dan penguatan karakter siswa" bisa dilakukan diluar kelas-lingkungan sekolah maka tinggal menyesuaikan saja dengan kondisi dan situasi lokal-regional. Misalnya, dibutuhkan kreativitas para guru menyusun program dan rencana harian yang tepat sesuai situasi dan kondisi setempat. Bukan tidak mungkin sekolah pedalaman lebih banyak aktivitas out doornya di hutan, ladang dan gunung/sungai untuk menguatkan karakter siswa.

Persoalan mobilitas siswa-guru pun menyesuaikan hal tersebut, walau sangat tidak mudah. Bagaimana bila letak sekolah jauh dengan "fasilitas umum lainnya" sementara di tempat akan dituju untuk pembelajaran dan penguatan karakter siswa sangat jauh dan medannya sulit ? Bagaimana dengan makan dan minum siswa di siang hari yang melelahkan yang nota bene mereka dari anak-anak tidak mampu sementara rumah mereka jauh dari sekolah dan sangat terpencil. Usai sekolah sudah sore, untuk pulang ke rumah butuh sekian jam sampai ke rumah. Bisa-bisa kemalaman di jalan. Dan ini berlangsung terus. Siapa yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka? Apakah pemerintah akan menyediakan rumah asrama dekat sekolah, atau sekalian saja tidur di sekolah?

Tanggung jawab guru/sekolah (dengan kondisi yang terbatas) sangat besar dan tidak mudah. Perlu upaya lebih setiap pemerintah daerah untuk mengatasinya agar program "pusat" dapat terlaksana. Jadi, mudah-mudahan Full Day School tak hanya sebuah program hebat yang semata diputuskan dengan kacamata 'Orang Pusat'.

Sekian

-----

Peb15/06/2017

Sumber referensi ; Satu, Dua, Tiga, Empat 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun