Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Full Day School, Antara Langkah Strategis, Realitas dan Ironis

15 Juni 2017   13:03 Diperbarui: 15 Juni 2017   19:16 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lamanya durasi sekolah perhari membuat masyarakat tidak bisa memberikan program pendidikan lain pada anak-anak mereka, misalnya ; membantu kerja orang tua di sawah/ladang/toko/rumah, memberikan waktu untuk ikut sekolah agama, memberikan les tambahan sesuai minat dan bakat anak-anak, dan lain sebagainya.

Pada sebagian keluarga di kota besar yang mampu dan memiliki fasilitas serta program yang ketat pada anak-anak mereka, program "Full Day School" tidak menjadi masalah. Sebelum program pemerintah itu diluncurkan, para keluarga mampu itu sudah menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah unggulan berbiaya besar yang menerapkan sistem sekolah itu "Full Day School". Sekolah itu sudah punya program yang jelas, dukungan staf pengajar dan fasilitas sekolah untuk melaksanakannya. Dan hebatnya, pihak keluarga masih juga sempat memberikan les atau kursus tambahan diluar jam sekolah demi pengembangan bakat anak dan "kepentingan" keluarga.

Bila melihat penjelasan kementrian pendidikan dan kebudayaan, maka sekolah ungulan dan berbiaya besar sudah menjalankan hampir seluruh konten yang dimaksudkan. Lalu, bagaimana dengan "sekolah-sekolah biasa" saja, khususnya di daerah pedalaman yang serba terbatas sarana dan tenaga pendidiknya?

Bisa jadi prinsipnya "tidak ada yang tidak bisa" selagi mau. Dengan melihat bahwa "kegiatan pengembangan dan penguatan karakter siswa" bisa dilakukan diluar kelas-lingkungan sekolah maka tinggal menyesuaikan saja dengan kondisi dan situasi lokal-regional. Misalnya, dibutuhkan kreativitas para guru menyusun program dan rencana harian yang tepat sesuai situasi dan kondisi setempat. Bukan tidak mungkin sekolah pedalaman lebih banyak aktivitas out doornya di hutan, ladang dan gunung/sungai untuk menguatkan karakter siswa.

Persoalan mobilitas siswa-guru pun menyesuaikan hal tersebut, walau sangat tidak mudah. Bagaimana bila letak sekolah jauh dengan "fasilitas umum lainnya" sementara di tempat akan dituju untuk pembelajaran dan penguatan karakter siswa sangat jauh dan medannya sulit ? Bagaimana dengan makan dan minum siswa di siang hari yang melelahkan yang nota bene mereka dari anak-anak tidak mampu sementara rumah mereka jauh dari sekolah dan sangat terpencil. Usai sekolah sudah sore, untuk pulang ke rumah butuh sekian jam sampai ke rumah. Bisa-bisa kemalaman di jalan. Dan ini berlangsung terus. Siapa yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka? Apakah pemerintah akan menyediakan rumah asrama dekat sekolah, atau sekalian saja tidur di sekolah?

Tanggung jawab guru/sekolah (dengan kondisi yang terbatas) sangat besar dan tidak mudah. Perlu upaya lebih setiap pemerintah daerah untuk mengatasinya agar program "pusat" dapat terlaksana. Jadi, mudah-mudahan Full Day School tak hanya sebuah program hebat yang semata diputuskan dengan kacamata 'Orang Pusat'.

Sekian

-----

Peb15/06/2017

Sumber referensi ; Satu, Dua, Tiga, Empat 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun