Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menulis Keluar Kandang, Seberapa Perlu?

28 Mei 2017   17:04 Diperbarui: 29 Mei 2017   09:52 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Satu pertanyaan dan pernyataan kawan bikin saya kaget dan tersipu malu. "Mengapa kamu tidak menulis di blog sebelah? Disana ramai, dan kamu bisa dapat Hits lebih dari yang kamu daptkan di Kompasiana". Ini merupakan pertanyaan yang sering saya terima dari kawan-kawan. Biasanya, dengan satu jawaban ; "Saya merasa cocok dengan suasana Kompasiana. Mulai dari pertemanan, cara para penulisnya memilih angle issue atau masalah, dan teknik mereka membentuk diksi kepenulisan jadi sebuah sajian yang "khas". Dengan jawaban saya itu, mereka pun memaklumi. Masalah pun selesai. Tapi kali ini ada pertanyaan seorang kawan dan disusul pernyataan yang bikin kaget. Akhirnya kami terlibat diskusi panjang.

Dia membuat satu pernyataan begini ; "Kalau kamu hanya menulis di Kompasiana saja, kamu tidak akan berkembang. Kamu harus menjajal dirimu di luar Kompasiana, agar kamu tahu seberapa hebatnya kamu menulis. Kamu jangan jadi penulis jago kandang aja, boss...kalau ingin maju, jangan jadi katak dalam tempurung. Ente harus keluar kandang. Orang yang bisa maju adalah orang yang keluar dari zona nyaman, dan mencari wawasan baru yang lebih luas!".

Hadeuuh!
Saya seperti dikilik-kilik. Baru kali ini dibuat sangat tersipu malu tentang keberadaan saya sebagai Kompasianer. Mendengar pernyataan tadi bikin jantung berpacu agak kencang, namun saya berusaha tidak menundukkan wajah sembari memainkan ujung rambut. Aah, tidaak! Kenapa? Ini masalah ego diri saya, pemirsah....heuheuheu!

Hal yang dinyatakan kawan saya itu wajar. Saya sadari itu ada benarnya. Bahwa untuk maju kita harus punya wawasan lebih luas. Bahwa secara universal, sebuah "berkompetisi" di luar bisa mematangkan hidup seseorang. Bahwa jadi katak dalam tempurung itu tidak bagus. Bagaimana bisa melompat jauh?

Pembelaan saya berikan namun absurd. Saya bukan tak suka hal-hal baru dan tak alergi pada tantangan. Saya juga tak ingin jadi katak dalam tempurung. Jongkok terus bikin pegel, tau! Hak hak hak...

Jadi begini, setiap orang bisa saja berubah. Manusia itu kan dinamis. Bisa jadi kelak saya pun beribah dengan satu atau sejumlah maksud-tujuan yang hanya saya sendiri yang tahu. Namun sampai saat ini saya masih enjoy di Kompasiana ini. Kenapa bisa enjoy? Hadeuuh..nanya mulu, udah dong...aku kan jadi makin tersipu maluu...

Betul bahwa seorang penulis kalau ingin eksis, harus mau membuka diri pada wawasan baru. Itu modal dunia kepenulisan. Wawasan itu didapat dari banyak melihat, merasakan dan membaca segala masalah yang belum diketahui baik dari informasi terkini, informasi lawas, pengalaman empiris, penglaman orang lain, dan lain sebagainya.

Semua itu tak mesti dilakukan di blog sebelah yang nota-bene sama jenisnya dengan Kompasiana. Beda halnya bisa beda jenis, misalnya menulis buku, atau artikel untuk media cetak, dan lain-lainnya.

Pertanyaannya adalah seberapa perlu menulis di luar kandang? Apakah kalau 'hanya' di Kompasiana orang tak bisa maju?

Ini pertanyaan sangat yang realistis, namun jawabannya bisa absurd pula, atau jadi relatif bagi setiap penulis. Ada yang orientasinya adalah belajar, mencari popularitas, mendapatkan banyak Hits, aktualitas, saluran aspirasi politis, saluran kegalauan, hiburan, dan lain-lain. Semua maksud-tujuan itu sah-sah saja bagi seorang penulis. Hanya si penulislah yang menjalninya, bukan?

Sebuah absurditas (mustahil, tak masuk akal, omong koson) seringkali tidak bisa dituntut oleh realitas. Jadi, kalau mau menjadikannya realitas maka pahami saja absurditas. Tidak lebih.

Ketika kita mampu memahami absurditas itu, maka menjadi nyatalah semua itu. Sama halnya ketika Raisa akhirnya memilih Hamish Daud jadi calon suaminya padahal masih banyak lelaki yang jauh lebih hebat di negeri ini ; lebih ganteng, lebih kaya, lebih populer, lebih ini itu dan lain sebagainya.

Kalau Raisa ditanya akan muncul jawaban pembelaan yang "mudah dibantahkan". Tapi toh Raisa sudah mengambil keputusan sebagai sebuah jawaban dirinya. Kita hanya bisa memahaminya. Sembari meneteskan air mata dan berdoa semoga langgeng.

Contoh lain, ketika Raisa tunangan, kenapa ada yang 'patah hati'? Padahal ada banyak perempuan yang lebih nyata di lingkungan kita, kampus, kampung, komunitas pertemanan, kantor, dan lain-lain. Sementara Raisa itu "jauh di langit ke tujuh". Raisa tak lebih Imaginasi kesempurnaan kecantikan seorang perempuan. Jawaban ribuan kaum "Patah Hati'' akan muncul sangat absurd sebagai pembelaan. Nyatanya ada patah hati, dan kondisi itu hanya bisa dipahami dan tidak untuk dituntut kebenaran realistik nya, bukan?

Lha, kok ngomong Raisa, sih? Hadeuuh! 
Kembali ke soal 'menulis diluar kandang' tadi, begitu pula sebuah alasan bisa muncul. Kondisi relativitas yang hanya bisa dipahami. Seringkali tak bisa dituntut sesuai kehendak realistik si Penanya.
Bagaimana dengan anda?

Salam
_____

Peb28/05/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun