Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pembubaran HTI, "Perjudian Politis" Jokowi Jelang Pilpres 2019?

9 Mei 2017   05:04 Diperbarui: 9 Mei 2017   09:57 4479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ormas HTI telah secara resmi dinyatakan dibubarkan pemerintah. Ini merupakan sebuah keputusan politis pemerintah yang sangat berani. Publik diharapkan memahami karena sudah didasarkan kajian mendalam dan demi kepentingan yang lebih besar pada bangsa dan negara ini.

Keputusan pembubaran HTI dipandang sebagai perjudian politis yang dilakukan oleh tataran rezim pemerintahan Jokowi, mengingat aspek politis di satu sisi terkait keberlangsungan rezim Jokowi di masa datang, khususnya pilpres 2019. Di sisi lain, HTI merupakan ormas Islam yang berpengaruh bukan semata secara idiologis Islam tapi juga menyangkut aspek religi sebagian besar rakyat di negara ini. Seringkali kedua hal itu tanpa batas jelas, atau bercampur dalam konstelasi politik di tanah air. Apalagi kini, politik idetitas mendapat panggung cukup signifikan di berbagai agenda politik kepartaian dan ruang kritik kebijakan pemerintah.

Perlu dipahami secara positf arti Rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal (misalnya, Konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial, dll) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.

Pembubaran HTI dan Menguatnya Politik Identitas

Pembubaran HTI dalam suasana politik identitas keislaman yang semakin terlihat saat ini bukanlah keputusan populis untuk investasi politik masa depan rezim Jokowi, misalnya Jokowi dicap 'anti Islam'. Sebagai perbandingan, rezim pemerintahan lalu tak melakukannya, walau 'dinamika' politik tanah air sering gerah oleh kiprah HTI yang tak berpihak pada visi kenegaraan dan kepentingan masyarakat majemuk NKRI. Pemerintahan lalu relatif bebas dari cap Anti Islam.

Tidak populisnya sejumlah keputusan dari gaya rezim Jokowi sepertinya bukan hal baru. Hal lain misalnya mencabut subsidi BBM, pembangunan infrastruktur berskala sangat besar, politik perdagangan internasional dan investasi condong ke Timur (khusunya Tiongkok), amnesty pajak, melakukan 'perang' terhadap mafia hasil kelautan, dan lain-lainnya, semua itu merupakan pertaruhan atau kalau boleh dikatakan Perjudian citra politis.

Keputusan Populis vs Non-Populis

Jokowi yang disematkan sebagian kalangan sebagai si 'Koppig' (keras kepala, bahasa Belanda) seolah tak perduli teriakan sebagian publik negeri ini, yang sudah nyaman dengan "yang sudah ada dari masa lalu". Itulah mengapa pemerintahan Jokowi selalu dapat kritik pedas banyak kalangan, baik politik, ormas, lembaga, individu bahkan rakyat biasa. Para kelompok kritik itu tak henti berteriak gaduh. Uniknya, gelombang teriakan mereka berjalan dengan syimfoni dukungan oleh kelompok yang bersimpati pada Jokowi. Jadilah dua kelompok besar itu berjalan paralel sering langka Jokowi menjalankan Amanahnya selaku kepala negara dan tokoh politik paling berpengaruh di negeri ini.

Sebagai perbandingan, sedikit berbeda dengan gaya pemerintahan lalu yang mengutamakan ketengan di ruang publik politis. Ketika kegaduhan mulai muncul, maka sumber kegaduhan diakomodasi sehingga tidak tercipta gelombang besar yang berbeda diperjalanan pemerintahan, paling hanya riak-riak kecil tak lebih sandiwara demokrasi kaum elit. Keuntungan rezim lama itu didapatkan yakni keberlangsungan rezim atas dukungan elit pembawa gerbong politik identitas. Walau akhirnya, publik kemudian disadarkan rezim tersebut 'tak berbuat apa-apa' selama pemerintahannya.

Jokowi tidak seperti itu. Bisa jadi beliau belajar banyak dari sejarah (masal lalu). Bisa jadi pula karena sifat dirinya bersetting pengusaha yang berani investasi untuk sebuah keuntungan atau justru kehilangan modal dan profit-namun ada 'keuntungan lain' yang tak bisa dipahami orang lain selain dirinya selaku pelaku investasi itu.

Disinilah "Perjudian Politis" Jokowi

Pada konteks pembubaran HTI, yang menguras sisi emosional publik, secara hitungan politik kasat mata sangat tidak menguntungkan. Jokowi ibarat menutup lapak jualan es saat cuaca panas dan banyak orang kehausan, hanya karena Jokowi tak ingin banyak orang jadi batuk atau demam, sehingga jadi wabah di musiam kemarau ini. Sementara banyak orang atau kelompok berlomba-lomba buka lapak jualan es. Soal nantinya orang banyak terkena batuk dan demam adalah bukan urusan kelompok itu. Profit jangka pendek sudah didepan mata. Why not?

Pertanyaan muncul ; Bagaimana dia mengelola investasi yang anti maintstream itu? Apakah dia tak memikirkan dirinya sendiri?

Pada tataran kepengamatan, akan banyak muncul variabel hitungan politis kebijakan Jokowi terkait HTI. Variebel itu merupakan produk alam demokrasi bebas berpendapat. Sementara, disisi lain, Jokowi sudah punya hitungan politisnya sendiri yang bisa jadi 'tidak sempurna' yang rawan terhadap investasi citra diri di dalam konstelasi politik identitas keislaman jelang pilpres 2019. Lalu, bagaimana menyempurnakannya? Tentu saja diambil dari berbagai variabel produk alam demokrasi tadi. Hal ini yang sering luput dihitung oleh pengusaha 'jualan es' yang terlalu pragmatis.

Menduga Pembalajaran Jokowi

Bagi Jokowi, sebuah gelompang arus kepenolakan bukanlah semata bunuh diri investasi, justru sebaliknya, 'kerugian' adalah awal menjemput dan mengelola keuntungan dikemudian hari. Bagaimana implemnetasinya? Itu rahasia pedagang. Yang penting konsumen luas sehat dulu.

Satu hal yang perlu dipahami dari karakter Jokowi selaku pelaku politis yang bersetting pengusaha adalah ; pertama, tidak bersikap frontal namun melawan arus. Melawan arus namun tidak ekstrim. Kedua, tidak kompromistis dan asal publik senang namun tak mau bikin publik kesenangan sehingga lalai pada diri sendiri dan lingkungan. Kedua hal itu adalah antitesis dari sifat temannya, yakni Ahok (pertama) dan SBY (kedua).

Kedua hal tersebut merupakan hasil pembelajaran Jokowi yang sudah dia jalankan pada sejumlah kebijakannya selama ini. Uniknya, justru hal ini menciptakan 'kerawanan' yang tak berkesudahan karena para lawan abadi politiknya tak henti menggoreng renyah issue dirinya untuk konsumsi kelompok pendukungnnya.

Celakanya, kelompok dukungan tersebut justru diam-diam menikmati hasil kerja Jokowi. Disinilah perjudian politis Jokowi bila dikaitkan dengan pembubaran HTI, dan sejumlah kebijakan lainnya. Artinya, pembubaran HTI bukanlah sesuatu barang baru. Levelnya sama dengan kebijakan lain tersebut diatas. Pembubaran HTI bukan makanan sangat panas yang dihasilkan penggorengan Jokowi. Bukankan kebijakan lain yang tidak populis juga sudah pernah dia lakukan?

Dalam melihat kebijakan Jokowi terkait pembubaran HTI hendaknya kita melihat secara lebih kritis. Ada suatu timeline, yang sudah beliau rancang. Sementara publik pragmatis hanya melihat dan terfokus perpotong peristiwa di perhentian satuan waktu. Publik berkerumun dan riuh di situ. Sementara Jokowi menandang timeline itu sebagai sesuatu yang utuh, hasil pembelajarannya dari 'kedua temannya' tadi, hasil pengamatan kecenderungan konsumen es, hasil perbandingannya pada pragmatisme opara penjual es, dan hasil pembentukan setting diri Jokowi sebagai pengusaha.

Penentu berhasil tidaknya investasi Jokowi membubarkan HTI masih dipengaruhi variabel waktu kedepan dan force majeure. Faktor waktu masa depan hanya bersifat prediksi karena belum bisa dipegang. Sementara faktor Force Majeure adalah diluar dugaan dan kuasa manusia. Pembubaran HTI bagi Jokowi memang tidak secara mutlak memastikan keuntungan dirinya di 2019, tapi dia bisa memastikan publik tidak batuk-batuk dan demam selama dia memimpin negeri ini.

Beginilah artikel ini ditulis dengan sedikit keberanian tanpa pakai celana. Salam damai.

------

Peb,9/5/2014

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun