Ormas HTI telah secara resmi dinyatakan dibubarkan pemerintah. Ini merupakan sebuah keputusan politis pemerintah yang sangat berani. Publik diharapkan memahami karena sudah didasarkan kajian mendalam dan demi kepentingan yang lebih besar pada bangsa dan negara ini.
Keputusan pembubaran HTI dipandang sebagai perjudian politis yang dilakukan oleh tataran rezim pemerintahan Jokowi, mengingat aspek politis di satu sisi terkait keberlangsungan rezim Jokowi di masa datang, khususnya pilpres 2019. Di sisi lain, HTI merupakan ormas Islam yang berpengaruh bukan semata secara idiologis Islam tapi juga menyangkut aspek religi sebagian besar rakyat di negara ini. Seringkali kedua hal itu tanpa batas jelas, atau bercampur dalam konstelasi politik di tanah air. Apalagi kini, politik idetitas mendapat panggung cukup signifikan di berbagai agenda politik kepartaian dan ruang kritik kebijakan pemerintah.
Perlu dipahami secara positf arti Rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal (misalnya, Konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial, dll) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.
Pembubaran HTI dan Menguatnya Politik Identitas
Pembubaran HTI dalam suasana politik identitas keislaman yang semakin terlihat saat ini bukanlah keputusan populis untuk investasi politik masa depan rezim Jokowi, misalnya Jokowi dicap 'anti Islam'. Sebagai perbandingan, rezim pemerintahan lalu tak melakukannya, walau 'dinamika' politik tanah air sering gerah oleh kiprah HTI yang tak berpihak pada visi kenegaraan dan kepentingan masyarakat majemuk NKRI. Pemerintahan lalu relatif bebas dari cap Anti Islam.
Tidak populisnya sejumlah keputusan dari gaya rezim Jokowi sepertinya bukan hal baru. Hal lain misalnya mencabut subsidi BBM, pembangunan infrastruktur berskala sangat besar, politik perdagangan internasional dan investasi condong ke Timur (khusunya Tiongkok), amnesty pajak, melakukan 'perang' terhadap mafia hasil kelautan, dan lain-lainnya, semua itu merupakan pertaruhan atau kalau boleh dikatakan Perjudian citra politis.
Keputusan Populis vs Non-Populis
Jokowi yang disematkan sebagian kalangan sebagai si 'Koppig' (keras kepala, bahasa Belanda) seolah tak perduli teriakan sebagian publik negeri ini, yang sudah nyaman dengan "yang sudah ada dari masa lalu". Itulah mengapa pemerintahan Jokowi selalu dapat kritik pedas banyak kalangan, baik politik, ormas, lembaga, individu bahkan rakyat biasa. Para kelompok kritik itu tak henti berteriak gaduh. Uniknya, gelombang teriakan mereka berjalan dengan syimfoni dukungan oleh kelompok yang bersimpati pada Jokowi. Jadilah dua kelompok besar itu berjalan paralel sering langka Jokowi menjalankan Amanahnya selaku kepala negara dan tokoh politik paling berpengaruh di negeri ini.
Sebagai perbandingan, sedikit berbeda dengan gaya pemerintahan lalu yang mengutamakan ketengan di ruang publik politis. Ketika kegaduhan mulai muncul, maka sumber kegaduhan diakomodasi sehingga tidak tercipta gelombang besar yang berbeda diperjalanan pemerintahan, paling hanya riak-riak kecil tak lebih sandiwara demokrasi kaum elit. Keuntungan rezim lama itu didapatkan yakni keberlangsungan rezim atas dukungan elit pembawa gerbong politik identitas. Walau akhirnya, publik kemudian disadarkan rezim tersebut 'tak berbuat apa-apa' selama pemerintahannya.
Jokowi tidak seperti itu. Bisa jadi beliau belajar banyak dari sejarah (masal lalu). Bisa jadi pula karena sifat dirinya bersetting pengusaha yang berani investasi untuk sebuah keuntungan atau justru kehilangan modal dan profit-namun ada 'keuntungan lain' yang tak bisa dipahami orang lain selain dirinya selaku pelaku investasi itu.
Disinilah "Perjudian Politis" Jokowi