Wujud demokrasi selalu gurih diperbincangkan jelang dan usai 'pesta demokrasi' dilaksanakan. Segala peristiwa yang terjadi di suatu pemilu (Pilkada maupun Pilpres) tak lepas dari pencarian lagi 'pemahaman' tentang demokrasi. Pada rentang waktu 'pesta' itu, demokrasi seolah-olah jadi barang yang selalu berubah wujud di ruang publik, kemudian sebagian topik pembicaraan pun muncul untuk mengembalikan ke bentuk sebenarnya.
Satu hajatan pesta demokrasi terbaru dan fenomenal adalah Pilkada DKI 2017 lalu. Klaim pada wujud demokrasi Pilkada DKI muncul antara pendukung pihak yang kalah dan yang menang, antara pemerintah (negara) dan non-pemerintah, antara orang dalam negeri dan luar negeri, antara konsumen demokrasi (rakyat pemilih) dan produsen demokrasi (partai, legislatif, penyelenggara pemilu). Ada dikotomi yang kemudian terbentuk. Satu pihak mengatakan Pilkada sudah berjalan demokratis, di pihak lain mengatakan tidak demokratis. Pertanyaan mendasar kemudian muncul, demokrasi itu apa? Bagaimana wujud asli demokrasi itu?
Pengenalan Demokrasi
Pengenalan demokrasi sudah dimulai sejak bangku sekolah dasar. Para murid memahami demokrasi secara teoritis didaptakan dari pelajaran tentang sejarah bangsa dan ketatanegaraan. Secara umum larena sifatnya awal, mendasar dan wajib diketahui maka pemahaman itu jadi sangat berkesan hingga dewasa. Demokrasi itu dipahami awam sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat disertakan berpartisipasi secara aktif mengontrol kebijakan pemerintah, baik secara langsung maupun perwakilan. Rakyat memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka di segala aspek kehidupan. Salah satu caranya melalui pemilihan umum sebagai pesta demokrasi yang adalah pesta rakyat. Didalam demokrasi itu ada pembagian atau pemisahan kekuasaan pemerintah menjadi tiga yakni Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ketiganya merupakan perwakilan peran rakyat lebih lanjut di pemerintahan.
Untuk mengetahui lebih jelas teori demokrasi maka diberikanlah contoh pembeda yang ekstrim, yakni sistem monarki-dimana kekuasan dan keputusan negara dan perikehidupan rakyat ditangan raja (kerjaaan). Dengan perbandingan tersebut pemahaman teori demokrasi pun dipandang sebagai sesuatu yang ideal.
Teori di sekolah mengajarkan segala prosedur, langkah, dan seremobialitas sebuah pesta demokrasi. Lagi-lagi hal ini menjadi pemahaman rakyat akan sebuah Demokrasi yang ideal. Idealisme rakyat pun terbentuk di alam bawah sadarnya, kemudian mempengaruhi nilai-nilai kedalam hati nurani mereka.
Sampai disini hapalan tentang demokrasi tak akan pernah hilang hingga si murid menjadi dewasa dan terjun ke masyarakat. Saat dewasa, mereka kemudian mengamati proses Pesta Demokrasi (Pilpres dan Pilkada) karena berkepentingan pada hal pilih yang mereka miliki. Lalu apa yang mereka saksikan ? Bagaimana praktek detailnya pada pesta demokrasi itu? Disinilah kaum awam tersebut mengalami kekagetan yang luar biasa !
Demokrasi Dalam Praktek Terkini
Prose pesta demokrasi ternyata banyak bikin kejutan yang bertentangan dengan pemahaman ideal mereka. Ketika itu sudah terjadi, banyak kalangan menganggap hal itu 'bukan' demokrasi yang mereka inginkan dan pahami. Bahkan keterkejutan itu membuat sebagian kecil orang awam menjadi apatsi.
Secara grand procedural, protokol demokrasi sudah berjalan baik. Namun dalam seremonialitasnya banyak memuat bagian seremoni yang 'aneh' yang justru antithesis dari spirit demokrasi. Bisa dilihat dari timelinenya terdapat peristiwa-pristiwa yang 'bikin publik terkejut, takjub dan ngeri', misalnya penggunaan unsur SARA, fitnah, hujatan, agitasi, intimidasi dan lain lain oleh para pelaku kompetisi pilkada ataupun pilpres. Hal itu menjadi aksentuasi yang mengemuka. Inilah yang kemudian terpatri di benak publik. Akibatnya sebagian publik membuat 'stigma' bahwa “Pesta Demokrasi” itu bukan Demokrasi sebenarnya.
Publik itu tidak melihat lagi ‘grand prosedural dan seremonialitas' Pesta Demokrasi yang sudah dijalani berjalan lancar. Sejumlah 'aksentuasi' yang tidak ideal di timeline tadi lebih mengemuka dan menjadi traumatik komunal. Salahkah mereka ? Tidak. Namun untuk mencari mana pihak yang salah juga sulit mengingat bahwa parameter yang digunakan tidak sama. Toh buktinya Pesta Demiokrasi bisa tuntas dan berjalan lancar?
Parameter Publik Awam
Publik awam menggunakan parameter etika, moral dan aturan umum yang mereka ketahui dari bangku sekolah. Sementara para produsen dan aktor lapangan (partai, tim sukses, relawan, legislatif, penyelenggara pemilu) menggunakan aturan teknis yang lebih rinci. Celakanya aturan tersebut jadi dasar mereka untuk disiasati dan menghasilkan aksi-aksi teknis demokrasi tak terpuji dimata publik awam. Mereka menampilkan tontonan tidak sedap dimata rakyat, namun aturan teknis justru tidak mampu menyalahkan mereka karena argumentasi politis dan kelihaian memainkan aturan.
Disinilah terjadi perbedaan yang ‘jomplang’ antara pemahaman publik awan dengan tontonan demokrasi yang dilakukan para produsen demokrasi itu.
Para produsen demokrasi melakukan itu bukan tanpa perhitungan dan perencanaan matang. Mereka mengeluarkan biaya besar untuk semua itu. Dalam hal itu, salah satu fenomena baru yang muncul adalah mereka menggunakan tim Konsultan Politik. Tim ini bekerja atas pesanan dan dibayar secara profesional dan tidak ada ikatan ideologis secara masif antara kedua pihak. Bisa jadi konsultan politik ini dulunya adalah tim konsultan dari partai atau kelompok politik yang dahulu berseberangan dengan kelompok politik yang kini memakai jasa mereka. Disinilah uniknya.
Tim konsultan berada diluar struktur partai. Mereka bekerja dengan cara terlebih dahulu melakukan riset mendalam dan lama untuk bersiasat atau membuat strategi pemenangan. Dan celakanya, obyek riset mereka adalah karakteristik publik awam itu sendiri. Dari riset itu mereka memetakan segala hal terkait publik awam, mulai dari tingkat pendidikan, tingkat pemahaman demokrasi, kesukaan, kesenangan, harapan, impian, strata sosial, ciri budaya, dan lain sebagainya.
Tim konsultan politik kemudian membuat konsep dan rencana aksi yang berbeda untuk setiap golongan publik. Misalnya, strategi dan rencana aksi untuk bagi kalangan miskin berbeda dengan golongan menengah dan atas. Begitu juga pada golongan pendidikan rendah dan tinggi. Ada banyak strategi dan penggolongan yang mereka buat. Intinya mereka mempengaruhi pikiran, ideologi dan pilihan publik agar tertuju pada kelompok politik yang memakai jasa mereka pada pesta demokrasi itu.
Publik Awan sebagai Kelompok yang Lemah?
Publik awam menjadi obyek demokrasi yang seringkali tak berdaya ditengah tontonan ‘seremoni aneh’ yang bermunculan di pesta demokrasi. Mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Otak mereka seolah dicuci. Logika mereka dilecehkan. Nurani mereka dipermainkan, dan lain sebagainya. Terjadi pergulatan hebat antara ‘Seremoni Demokrasi VS Demokrasi Nurani Publik’. Ini yang seringkali membuat publik menjadi marah, stess, frustasi dan lain sebagainya selama Pesta Demokrasi berlangsung.
Bagaimana cara menanggulanginya? Semua kembali pada kedewasaan publik itu sendiri dalam berdemokrasi. Mereka merupakan konsumen terbesar dari produk demokrasi yang disebarkan oleh “produsen” demokrasi. Publik perlu belajar banyak tentang produk murahan dan bermutu, mana yang bergizi dan mana yang merusak tubuh demokrasi, mana yang berkualitas dan mana yang kacangan, dan lain sebagainya. Untuk menuju ke sana maka semua elemen masyarakat perlu dilibatkan, termasuk para aktor politik dan terutama pemerintah sebagai pengayom masyarakat.
Negara dan bangsa ini akan mendapat malu dimata dunia internasional bila masyarakat kita sangat konsumtif terhadap produk demokrasi murahan. Akan bisa ditebak betapa tidak sehatnya dan lemahnya masyarakat kita. Ujung-ujungnya hal tersebut dimanfaatkan negara lain untuk kepentingan mereka di negara kita sendiri.
Begitulah kalau merenung pakai celana.
------
Peb25/04/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H