Parameter Publik Awam
Publik awam menggunakan parameter etika, moral dan aturan umum yang mereka ketahui dari bangku sekolah. Sementara para produsen dan aktor lapangan (partai, tim sukses, relawan, legislatif, penyelenggara pemilu) menggunakan aturan teknis yang lebih rinci. Celakanya aturan tersebut jadi dasar mereka untuk disiasati dan menghasilkan aksi-aksi teknis demokrasi tak terpuji dimata publik awam. Mereka menampilkan tontonan tidak sedap dimata rakyat, namun aturan teknis justru tidak mampu menyalahkan mereka karena argumentasi politis dan kelihaian memainkan aturan.
Disinilah terjadi perbedaan yang ‘jomplang’ antara pemahaman publik awan dengan tontonan demokrasi yang dilakukan para produsen demokrasi itu.
Para produsen demokrasi melakukan itu bukan tanpa perhitungan dan perencanaan matang. Mereka mengeluarkan biaya besar untuk semua itu. Dalam hal itu, salah satu fenomena baru yang muncul adalah mereka menggunakan tim Konsultan Politik. Tim ini bekerja atas pesanan dan dibayar secara profesional dan tidak ada ikatan ideologis secara masif antara kedua pihak. Bisa jadi konsultan politik ini dulunya adalah tim konsultan dari partai atau kelompok politik yang dahulu berseberangan dengan kelompok politik yang kini memakai jasa mereka. Disinilah uniknya.
Tim konsultan berada diluar struktur partai. Mereka bekerja dengan cara terlebih dahulu melakukan riset mendalam dan lama untuk bersiasat atau membuat strategi pemenangan. Dan celakanya, obyek riset mereka adalah karakteristik publik awam itu sendiri. Dari riset itu mereka memetakan segala hal terkait publik awam, mulai dari tingkat pendidikan, tingkat pemahaman demokrasi, kesukaan, kesenangan, harapan, impian, strata sosial, ciri budaya, dan lain sebagainya.
Tim konsultan politik kemudian membuat konsep dan rencana aksi yang berbeda untuk setiap golongan publik. Misalnya, strategi dan rencana aksi untuk bagi kalangan miskin berbeda dengan golongan menengah dan atas. Begitu juga pada golongan pendidikan rendah dan tinggi. Ada banyak strategi dan penggolongan yang mereka buat. Intinya mereka mempengaruhi pikiran, ideologi dan pilihan publik agar tertuju pada kelompok politik yang memakai jasa mereka pada pesta demokrasi itu.
Publik Awan sebagai Kelompok yang Lemah?
Publik awam menjadi obyek demokrasi yang seringkali tak berdaya ditengah tontonan ‘seremoni aneh’ yang bermunculan di pesta demokrasi. Mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Otak mereka seolah dicuci. Logika mereka dilecehkan. Nurani mereka dipermainkan, dan lain sebagainya. Terjadi pergulatan hebat antara ‘Seremoni Demokrasi VS Demokrasi Nurani Publik’. Ini yang seringkali membuat publik menjadi marah, stess, frustasi dan lain sebagainya selama Pesta Demokrasi berlangsung.
Bagaimana cara menanggulanginya? Semua kembali pada kedewasaan publik itu sendiri dalam berdemokrasi. Mereka merupakan konsumen terbesar dari produk demokrasi yang disebarkan oleh “produsen” demokrasi. Publik perlu belajar banyak tentang produk murahan dan bermutu, mana yang bergizi dan mana yang merusak tubuh demokrasi, mana yang berkualitas dan mana yang kacangan, dan lain sebagainya. Untuk menuju ke sana maka semua elemen masyarakat perlu dilibatkan, termasuk para aktor politik dan terutama pemerintah sebagai pengayom masyarakat.
Negara dan bangsa ini akan mendapat malu dimata dunia internasional bila masyarakat kita sangat konsumtif terhadap produk demokrasi murahan. Akan bisa ditebak betapa tidak sehatnya dan lemahnya masyarakat kita. Ujung-ujungnya hal tersebut dimanfaatkan negara lain untuk kepentingan mereka di negara kita sendiri.
Begitulah kalau merenung pakai celana.