Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Emak Tetap di Pasar

23 April 2017   21:40 Diperbarui: 24 April 2017   08:00 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar : http://scontent.cdninstagram.com/t51.2885-15/e35/16230189_1381756708542038_3624440459197153280_n.jpg?ig_cache_key=MTQzNDY1ODIyNDg1NDU0NjQwMQ%3D%3D.2"][/caption]

"Mak, mulai minggu depan tak usah lagi jualan dipasar, ya". Kata-kata itu meluncur dengan hati-nati dari bibir Lieta.

Sebenarnya hal ini ingin dia sampaikan sejak 4 tahun lalu setelah diterima kerja di perusahaan besar produsen pakan ternak. Kalau hanya untuk kebutuhan sehari-hari gajinya bisa dicukup-cukupkan walau tidak besar. Namun waktu itu dia masih ragu karena harus membiayai sendiri kuliah malam program diploma manajemen. Tekadnya bulat, harus kuliah demi karier.

Emak menoleh ke arahnya dengan wajah agak penuh tanya.
"Kenapa, Liet? Emak masih kuat bekerja"

"Saya dapat promosi, mak. Bulan depan jabatan saya naik jadi asisten manager."

Mata emak berbinar.
"Waah, emak ikut senang kau naik pangkat, Liet"

Segera Lieta mendekat Emak kemudian memeluknya.
"Emak jangan kuatir, gajiku naik banyak, dapat tunjangan dan bonus. Semua jauh lebih cukup untuk hidup sehari-hari".

Mendengar itu, emaknya diam. Bahasa tubuhnya berubah. Lieta bisa merasakan. Dilepaskanya pelukan. Dipandangnya wajah emak, terasa datar.

Emak berusaha tersenyum.
"Kenapa, mak? Lebih baik emak di rumah saja, ndak perlu lagi subuh-subuh ke pasar. Kios emak disewakan saja, atau dijual. Kalau emak mau, bikin warung sembako depan rumah kita. Nanti kusuruh kang Dudung tukang bangunan itu bikin untuk emak. Gimana, mak?

Emak diam. Matanya menerawang. Ada yang dia pikirkan.

"Mak, aku ndak tega emak turun subuh. Kalau dulu okelah, aku masih sempat bantu emak. Udah setahun ini aku ndak sempat bantu emak disana."

"Kamu tidak bantu juga ndak apa-apa. Emak paham kesibukan kerjamu. Pulang sudah malam, pagi harus berangkat. Kantormu ada aturan. Kamu ndak usah kuatir, Liet..."

Lieta diam. Dia berpikir untuk membujuk emak.

"Emak sudah merasa nyaman di pasar pagi itu, Liet....Semua disana sudah seperti saudara emak. Lagian kerjanya ndak berat. Siang emak sudah dirumah." kata emak.

"Kalau bikin kios di depan rumah tetap punya kegiatan juga kan, Mak..." Sahut Lieta.

"Beda, Liet..."
Kalimat emak seolah terpotong. Matanya kembali menerawang ke luar, seolah tak ingin menatap wajah anak gadisnya itu.

"Apa bedanya, mak? Di kios ini juga bisa punya kegiatan yang menghasilkan uang. Tak beda di pasar itu, mak.."

"Bukan itu Liet..l". Kali ini ditatapnya mata anaknya itu. Mata emak mulai berkaca-kaca.

"Di pasar itu, Emak bisa selalu bertemu Bapakmu".

Lieta kaget.
"Mak, Bapak sudah lama meninggal. Dan dia laki-laki tak bertanggung jawab telah tinggalkan kita begitu saja bersama janda kaya itu"

Emak terdiam. Sulit rasanya dia berkata.

"Aku benci dengan bapak, mak"

" Lieta, emak tak pernah bisa benci bapakmu. Dipasar itu emak dan bapakmu mulai kenal dan kemudian merintis hidup, mulai dari jualan di emperan beralaskan tikar sampai punya kios sendiri. Setelah itu bapakmu baru ikut pak Djohar kerja kontraktor di luar kota.

"Tapi mak, laki-laki itu telah mengkhianati kita!" Nada suara Lieta meninggi penuh emosi.

"Cinta emak begitu besar walau pernah dikhianati. Emak selalu dapatkan cinta bapakmu di suasana pasar tradisional itu. Dengan cinta itulah emak semangat bekerja dan membesarkan kamu dan dua adikmu."

Mendadak Lieta jadi lemas. Tubuhnya seolah tak bertulang.
Kata-kata emak itu seolah tombak yang menghujam Ulu hatinya.
Masih dia ingat wajah bapaknya yang pergi begitu saja saat dia masih SMP, sementara dua adiknya masih kecil.
Terbayang muka ketus bu Sukma yang pernah menghina dirinya karena miskin dan tidak pantas jadi kekasih Erwin-anaknya. Terbayang wajah Erwin yang telah merenggut kegadisannya sebelum ujian akhir kemudian kuliah keluar negeri atas desakan keluarganya.
Secara samar muncul wajah pak Widjaya-owner perusahan tempat dia bekerja. Muncul wajah sejumlah klien dan top manager rekanan kantornya. Mereka adalah para orang penting yang pernah tidur dengannya. Dia lakukan demi kemudahan mencapai jenjang karier hingga saat ini.

Semua itu adalah tumpukan dendam yang jadi bahan bakar Lieta memacu gerbong ambisi jadi wanita karier yang sukses. Dan itu semua kini telah ada di depan matanya.

-----

 

Peb23/04/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun