" Lieta, emak tak pernah bisa benci bapakmu. Dipasar itu emak dan bapakmu mulai kenal dan kemudian merintis hidup, mulai dari jualan di emperan beralaskan tikar sampai punya kios sendiri. Setelah itu bapakmu baru ikut pak Djohar kerja kontraktor di luar kota.
"Tapi mak, laki-laki itu telah mengkhianati kita!" Nada suara Lieta meninggi penuh emosi.
"Cinta emak begitu besar walau pernah dikhianati. Emak selalu dapatkan cinta bapakmu di suasana pasar tradisional itu. Dengan cinta itulah emak semangat bekerja dan membesarkan kamu dan dua adikmu."
Mendadak Lieta jadi lemas. Tubuhnya seolah tak bertulang.
Kata-kata emak itu seolah tombak yang menghujam Ulu hatinya.
Masih dia ingat wajah bapaknya yang pergi begitu saja saat dia masih SMP, sementara dua adiknya masih kecil.
Terbayang muka ketus bu Sukma yang pernah menghina dirinya karena miskin dan tidak pantas jadi kekasih Erwin-anaknya. Terbayang wajah Erwin yang telah merenggut kegadisannya sebelum ujian akhir kemudian kuliah keluar negeri atas desakan keluarganya.
Secara samar muncul wajah pak Widjaya-owner perusahan tempat dia bekerja. Muncul wajah sejumlah klien dan top manager rekanan kantornya. Mereka adalah para orang penting yang pernah tidur dengannya. Dia lakukan demi kemudahan mencapai jenjang karier hingga saat ini.
Semua itu adalah tumpukan dendam yang jadi bahan bakar Lieta memacu gerbong ambisi jadi wanita karier yang sukses. Dan itu semua kini telah ada di depan matanya.
-----
Â
Peb23/04/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H