Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Banjir Jakarta, Arena Klasik Adu Pesona Politis

24 Februari 2017   02:08 Diperbarui: 24 Februari 2017   18:00 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sih yang tak bisa dipolitisir di negeri ini? Rasanya hampir tak ada. Tuhan saja bisa dipolitisir, apalagi hanya 'Banjir' yang merupakan fenomena alam yang biasa terjadi.

Dunia politik punya kemampuan melakukan komodifikasi issue terhadap apapun dimuka bumi ini. Dunia politik bisa mengambil banyak hal 'yang bukan miliknya' kemudian dikemas jadi domain politik, jadilah issue itu milik politik seutuhnya. Sebagai contoh bencana banjir Jakarta, cara berpakaian presiden, kisruh sepakbola, plafon bandara runtuh, dan lain-lain. Maka tak heran ada joke "Hukum adalah panglima, tapi politik adalah rajanya".

Banjir Jakarta jadi Domain Politik

Banjir di Jakarta sejak lama telah jadi "milik dunia politik" lokal dan nasional. Banjir Jakarta tak semata sebuah bencana dan penderitaan warga melainkan juga sebuah komoditas politik. Ketika banjir dikaitkan dengan kepentingan masyarakat, misalnya ; kebijakan penanggulangan, kesigapan aparat terkait dan lainnya maka disitulah celah Politisasi Bencana dimulai. Bencana banjir pun dioleh menjadi komoditas yang sangat menguntungkan secara politis. Siapa pelaku usahanya? Tentu saja politikus dan para kelompok pendukungnya.

Setiap kelompok politis punya cara mengemas fakta, issue, fenomena tertentu menjadi komoditas politik. Kemasan komoditi tersebut ada yang "halus" dan "kasar". Ada yang disainnya menarik ada yang seadanya. Hal itu dibuat untuk mendapatkan benefit politis sebesar-besarnya.

Setiap komoditi berikut disain punya "pangsa pasar"nya sendiri. Setiap pangsa pasar dihuni masyarakat atau kelompok. Merekalah konsumen utama komoditi tersebut.

Disain komoditi politis banjir Jakarta yang halus umumnya cenderung untuk "kalangan atas" bersifat formil, terbuka dan mencerahkan banyak pihak, baik pemilik komoditi maupun bukan. Jenis desain ini banyak disukai kaum intelektual, masyarakat yang kritis, kelompok diskusi, dll. Pemasarannya dilakukan di ruang publik formil seperti di media arus utama, forum debat, diskusi, seminar, atau wawancara dengan tokoh politis tertentu. Antara penjual komoditi dengan 'konsumen' terjalin interaksi positif yang saling mencerahkan.

Disain yang kasar dan seadanya dibuat untuk kalangan "bawah". Mereka adalah orang-orang yang malas berpikir kritis, malas mengakses informsi secara komprehensif, meliliki pikiran picik, hati yang hitam, dan ingin mengacaukan memenangkan tokoh politiknya secara instan.

Ahok bersama aparat Pemda DKI mengunjungi upaya penanganan banjir Jakarta II sumber gambar ; https://cdn.sindonews.net/
Ahok bersama aparat Pemda DKI mengunjungi upaya penanganan banjir Jakarta II sumber gambar ; https://cdn.sindonews.net/
Pesona Politis Ahok dan Anies pada Banjir

Kita lihat fenomena banjir di Jakarta. Saat warga kepayahan dan menderita, Anies datang menyapa mereka, memberi bantuan. Dengan harapan bisa mendapatkan simpati. Bahkan Anies tak segan basah-basah di genangan air untuk dekat dengan warga. Di pihak lain, Ahok juga datang dan memberi bantuan selaku pemerintah. Kalau Anies basah-basah yang bikin simpati, Ahok justru "takut basah". Dia tidak berjalan-jalan di genangan. Situasi keduanya yang berbeda 180 derajat kemudian jadi komoditi politik oleh masing-masing pihak. Ahok "takut basah" karena berpikir habis meninjau dia harus kembali secepatnya ke kantor untuk membuat kebijakan dengan tim kerjanya. Sementara Anies "habis main air" bisa pulang ke rumah, mandi, ganti dan kemudian duduk-duduk minum kopi hangat sambil terkekeh-kekeh. Who know?

Begitu juga kenyataan lain di lapangan banjir. Soal penangan yang belum didapatkan warga suatu wilayah tertentu kemudian jadi komoditi politik pihak pendukung Anies. Mereka tidak mau melihat sudah banyak daerah terlayani oleh pihak pemerintah dalam hal ini kebijakan Ahok. Di saat yang sama, pihak pendukung Ahok menggembar-gemborkan keberhasilan penangan banjir di banyak tempat lainnya. Jadilah ini komoditi politis pendukung Ahok. Belum lagi soal data jumlah titik banjir yang sudah tertangani dan masih belum tertangani. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun