Apa sih yang tak bisa dipolitisir di negeri ini? Rasanya hampir tak ada. Tuhan saja bisa dipolitisir, apalagi hanya 'Banjir' yang merupakan fenomena alam yang biasa terjadi.
Dunia politik punya kemampuan melakukan komodifikasi issue terhadap apapun dimuka bumi ini. Dunia politik bisa mengambil banyak hal 'yang bukan miliknya' kemudian dikemas jadi domain politik, jadilah issue itu milik politik seutuhnya. Sebagai contoh bencana banjir Jakarta, cara berpakaian presiden, kisruh sepakbola, plafon bandara runtuh, dan lain-lain. Maka tak heran ada joke "Hukum adalah panglima, tapi politik adalah rajanya".
Banjir Jakarta jadi Domain Politik
Banjir di Jakarta sejak lama telah jadi "milik dunia politik" lokal dan nasional. Banjir Jakarta tak semata sebuah bencana dan penderitaan warga melainkan juga sebuah komoditas politik. Ketika banjir dikaitkan dengan kepentingan masyarakat, misalnya ; kebijakan penanggulangan, kesigapan aparat terkait dan lainnya maka disitulah celah Politisasi Bencana dimulai. Bencana banjir pun dioleh menjadi komoditas yang sangat menguntungkan secara politis. Siapa pelaku usahanya? Tentu saja politikus dan para kelompok pendukungnya.
Setiap kelompok politis punya cara mengemas fakta, issue, fenomena tertentu menjadi komoditas politik. Kemasan komoditi tersebut ada yang "halus" dan "kasar". Ada yang disainnya menarik ada yang seadanya. Hal itu dibuat untuk mendapatkan benefit politis sebesar-besarnya.
Setiap komoditi berikut disain punya "pangsa pasar"nya sendiri. Setiap pangsa pasar dihuni masyarakat atau kelompok. Merekalah konsumen utama komoditi tersebut.
Disain komoditi politis banjir Jakarta yang halus umumnya cenderung untuk "kalangan atas" bersifat formil, terbuka dan mencerahkan banyak pihak, baik pemilik komoditi maupun bukan. Jenis desain ini banyak disukai kaum intelektual, masyarakat yang kritis, kelompok diskusi, dll. Pemasarannya dilakukan di ruang publik formil seperti di media arus utama, forum debat, diskusi, seminar, atau wawancara dengan tokoh politis tertentu. Antara penjual komoditi dengan 'konsumen' terjalin interaksi positif yang saling mencerahkan.
Disain yang kasar dan seadanya dibuat untuk kalangan "bawah". Mereka adalah orang-orang yang malas berpikir kritis, malas mengakses informsi secara komprehensif, meliliki pikiran picik, hati yang hitam, dan ingin mengacaukan memenangkan tokoh politiknya secara instan.
![Ahok bersama aparat Pemda DKI mengunjungi upaya penanganan banjir Jakarta II sumber gambar ; https://cdn.sindonews.net/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/02/24/pengamat-menilai-ahok-gagal-pahami-tipe-banjir-di-jakarta-4qf-58af3647f77e61fb136ee80f.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Kita lihat fenomena banjir di Jakarta. Saat warga kepayahan dan menderita, Anies datang menyapa mereka, memberi bantuan. Dengan harapan bisa mendapatkan simpati. Bahkan Anies tak segan basah-basah di genangan air untuk dekat dengan warga. Di pihak lain, Ahok juga datang dan memberi bantuan selaku pemerintah. Kalau Anies basah-basah yang bikin simpati, Ahok justru "takut basah". Dia tidak berjalan-jalan di genangan. Situasi keduanya yang berbeda 180 derajat kemudian jadi komoditi politik oleh masing-masing pihak. Ahok "takut basah" karena berpikir habis meninjau dia harus kembali secepatnya ke kantor untuk membuat kebijakan dengan tim kerjanya. Sementara Anies "habis main air" bisa pulang ke rumah, mandi, ganti dan kemudian duduk-duduk minum kopi hangat sambil terkekeh-kekeh. Who know?
Begitu juga kenyataan lain di lapangan banjir. Soal penangan yang belum didapatkan warga suatu wilayah tertentu kemudian jadi komoditi politik pihak pendukung Anies. Mereka tidak mau melihat sudah banyak daerah terlayani oleh pihak pemerintah dalam hal ini kebijakan Ahok. Di saat yang sama, pihak pendukung Ahok menggembar-gemborkan keberhasilan penangan banjir di banyak tempat lainnya. Jadilah ini komoditi politis pendukung Ahok. Belum lagi soal data jumlah titik banjir yang sudah tertangani dan masih belum tertangani.Â
Masing-masing pihak menjadikan ini arena adu pesona jagoannya. Ahok meragukan kemampuan Anies mennagani seperti yang telah dia tangani. Sedangkan Anies merasa bisa membereskannya dan berharap kepada masyarakat yang terkena banjir agar dia segera jadi gubernur untuk menuntaskannya.
Disaat bajir terjadi, pada saat itu pula berlangsung adu pesona politikus. Warga berada di pinggir arena sebagai penonton.
Menjadikan banjir Jakarta sebagai komoditi politis adalah sebuah keniscayaan bagi politikus karena kondisi itu mampu menyedot banyak perhatian masyarakat. Pangsa pasar jualan komositi sangat luas dan mendapatkan iklan gratis dari beragam media-yang pada dsarkanya memberikan bencana.
Posisi Penting Masyarakat Luar Arena
Ditengah keniscayaan politis yang tidak kreatif, banjir menjadi issue paling gurih dan murah untuk dijual. Tingal bagaimana setiap kelompok mengemasnya, mendisainnya berdasarkan pangsa pasar tadi. Dalam kelakuan seperti itu, lagi-lagi publik tak lebih jadi penonton pesona.
Situasi adu pesona itu menjadikan posisi masyarakat penonton dan penderita banjir berada pada posisi penting. Sebagai konsumen, masyarakat luas sejatinya harus bisa kritis. Tak serta merta memamahbiak segala suguhan komoditi politis itu. Salah satu cara adalah mau mencari informasi valid terkait banjir dan segala kegiatan politisi, bukannya memasarkan produk murahan komositi politis yang sudahlah disainnya buruk, seadanya, dan malah memperburuk rasa empati kepada warga yang terkena banjir.
------
Peb/24Peb2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI