Masing-masing pihak menjadikan ini arena adu pesona jagoannya. Ahok meragukan kemampuan Anies mennagani seperti yang telah dia tangani. Sedangkan Anies merasa bisa membereskannya dan berharap kepada masyarakat yang terkena banjir agar dia segera jadi gubernur untuk menuntaskannya.
Disaat bajir terjadi, pada saat itu pula berlangsung adu pesona politikus. Warga berada di pinggir arena sebagai penonton.
Menjadikan banjir Jakarta sebagai komoditi politis adalah sebuah keniscayaan bagi politikus karena kondisi itu mampu menyedot banyak perhatian masyarakat. Pangsa pasar jualan komositi sangat luas dan mendapatkan iklan gratis dari beragam media-yang pada dsarkanya memberikan bencana.
Posisi Penting Masyarakat Luar Arena
Ditengah keniscayaan politis yang tidak kreatif, banjir menjadi issue paling gurih dan murah untuk dijual. Tingal bagaimana setiap kelompok mengemasnya, mendisainnya berdasarkan pangsa pasar tadi. Dalam kelakuan seperti itu, lagi-lagi publik tak lebih jadi penonton pesona.
Situasi adu pesona itu menjadikan posisi masyarakat penonton dan penderita banjir berada pada posisi penting. Sebagai konsumen, masyarakat luas sejatinya harus bisa kritis. Tak serta merta memamahbiak segala suguhan komoditi politis itu. Salah satu cara adalah mau mencari informasi valid terkait banjir dan segala kegiatan politisi, bukannya memasarkan produk murahan komositi politis yang sudahlah disainnya buruk, seadanya, dan malah memperburuk rasa empati kepada warga yang terkena banjir.
------
Peb/24Peb2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H