Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Lakon Tak Putus pada Melodrama Politik Kita

16 Februari 2017   00:28 Diperbarui: 16 Februari 2017   10:53 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://cdn2.tstatic.net/wow/foto/bank/images/antasari-dan-sby_20170214_152724.jpg

Batas keduanya seolah jadi dekat karena batas ruang begitu transparan vulgarnya yang menampilkan secara  semua tingkah laku pelakon. Beda ruang dan jarak tak membuat publik ter-alienasi dari serunya drama. Kemajuan sistem teknologi dan informasi sangat membantu menempatkan publik pada  kursi terhormat di tepi panggung drama. bila panggung drama itu ibarat kotak aquarium, ruang transparan tempat drama seronok dapat disaksikan dari empat sisi.

Satu hiburan yang jarang diungkap bahwa publik penonton bisa menyaksikan para mantan pejabat tinggi “telanjang” atau “ditelanjangi” tak beda dengan ketelanjangan hidup keras rakyat. Banyak hal yang dulunya tabu dilihat dan pantang diketahui atas dasar citra dan wibawa pemerintah yang melekat di diri pejabat, kini tak lagi tabu. Hal tersebut menjadi hiburan tersendiri. Publik melihat kesakitan, kemarahan, kegilaan para pejabat itu sebagai hiburan karena tak disangka mirip dengan kehidupan publik sehari-hari yang keras.

Kedua, publik penonton mendapatkan pembelajaran.  

Ragam perspektif bisa publik dapatkan. Suasana jadi semarak ketika adegan di tiap tahapan drama menjadi pembicaraan santai di ruang publik. Muncul banyak referensi yang hidup di ruang publik. Kini referensi  tak melulu tentang sulitnya mencari rupiah demi rupiah untuk yang bikin pusing kepala. Tak melulu tentang tuntutan kebutuhan dasar anak dan istri di rumah.

Ruang pubik itu kini telah menjadi kaya akan ‘gossip bersama’ yang berubah jadi hiburan sekaligus pembelajaran komunal. Hiburan yang mencerdaskan orang awam saat mereka  “mendadak”  mampu mengkritisi drama tersebut. Di ruang publik itu mereka saling berbagai pemikiran kritis ala orang awam. Seringkali justru muncul pemikiran yang lebih hebat dari ahli politik itu sendiri. Publik menjadi manusia bebas bicara apapun menurut pemikirannya sebab tak  punya urusan langsung dengan drama politis tersebut. Drama politik adalah tetap drama para elit, sedangkan posisi publik penonton tetap tak berubah. Kedua pihak  itu masing-masing punya dinamika tersendiri.

Ketiga, publik menjadai familiar terhadap politik tercanggih.

Dulu publik tak begitu paham politik. Domain politik ada pada elit politik, namun kini publik diajarkan bagaimana sebuah politik canggih itu bermain di tataran elit, dan kemudian terbongkar ketika permainan mereka dipenuhi kepalsuan, intrik atau kecurangan tersebab  karakter asli yang melekat. Karakter itu semula tersembunyi. Kini publik menjadi familiar dengan keberagaman karakter para pelakon saat manuver politik tercanggih dimainkan dan disaksikan secara transparan sejak awal sampai akhir cerita.

Publik Butuh Drama Politik

Drama politik merupakan keniscayaan dunia politik. Harus diakui kemudian, selain menghasilkan tontotan yang memuakkan, namun disii lain menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Apa yang didapatkan  publik dari tontotan melodrama politik negeri ini  sadar atau tidak merupakan ‘anugerah’ yang mengalir bagi pendewasaan publik, setidaknya bagi  generasi muda pembelajar yang kelak jadi pelaku politik masa depan. Apa yang baik yang telah mereka tonton bisa ditiru dan disempurnakan, sebaliknya yang buruk dibuang. Ke depannya para  pemegang estafet politik negeri ini tak lagi mengulangi kebodohan-kebodohan lakon pendahulunya. Dengan begitu, kalaupun kelak ada drama politik masa depan, maka diharapkan drama itu jadi tontonan yang lebih berkualitas.

---

Peb/15peb2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun