Jagat politik negeri ini seperti tak pernah sepi sensasi. Belum putus satu sensasi, tumbuh seribu peristiwa dramatik membentuk sensasi baru. Begitulah metaphoranya. Ibarat telenovela, rakyat dipertontonkan rangkaian sequence mengejutkan di dalam sebuah cerita. Rakyat mengira jalan cerita akan berakhir atau konflik bakal reda, tapi tiba-tiba muncul tokoh antagonis atau protagonis baru. Jadilah kisah lain-baru di tengah cerita yang sebelumnya tengah berlangsung. Terciptalah melodrama mengharu biru.
Sebagian penonton muak, namun sebagian lagi bertepuk tangan karena hiburan berlanjut. Tak masalah minuman dan cemilan sudah lama kosong di meja. Bahkan menahan kencing pun dilakoni demi menyaksikan kejutan baru dalam cerita.
Satu contoh, tadinya dikira cerita panjang Ahok dalam pusaran panas politik akan berakhir setelah Pilkada DKI hari ini, tapi ternyata tidak. Muncul sensasi baru Ahok Gate di DPR. Ini sebenarnya scene kecil menunggu waktu tepat memutar arah cerita utama. Para pelakon dan rakyat penonton akan beradu libido kepedulian di ruang transparan yang berbeda. Baik itu di media sosial, maupun di media utama dan ruang publik nyata keseharian.
Saat cerita sedang menghangat, mendadak muncul sequence baru tepat di hari kasih sayang 14 Pebruari. Pelakonnya adalah Antasari Azhar yang mengusik SBY yang sedang berjuang memenangkan anaknya. Kedua raksasa ini adalah Mantan, AA mantan ketua KPK sedangkan SBY mantan presiden.
Pak SBY merupakan salah satu pelakon utama dalam cerita terkini politik negeri ini. Status mantan tak membuatnya hilang pamor atau lenyap dari peredaran panggung politik. Justru dengan labeling mantan yang disematkan publik, Pak SYB semakin kuat eksistensinya dalam drama politik negeri ini yang menjadi sebuah pertunjukan bagi jutaan rakyat Indonesia. Sementara Antasari Azhar semula bukanlah pelakon di panggung itu. Dia tak lebih pemain lama yang hampir dilupakan publik. Dia mendadak muncul di saat ekpspresi SBY berada dalam sorotan kamera ketika cerita hampir usai.
Pilkada DKI diharapkan merupakan babak akhir ceritarama politik, tapi justru di penghujung pertunjukan yang menegangkan itu di mana posisi SBY sangat kritis, muncul Antasari Azhar yang bukannya menambah kekuatan SBY, melainkan menambah masalah. Sebuah ketegangan pertunjukan drama politik yang tadinya sudah familiar di mata publik mendadak bertambah tegang dengan munculnya Antasari Azhar selaku pelakon baru.
Publik kemudian menebak-nebak arah kemunculan Antasari Azhar, sementara SBY sendiri dibikin terkejut, ekspresinya terekspos kamera secara jelas manakala melemparkan monolog dramatik yang mendahului arah tebakan publik penonton. Pertunjukan makin menarik ketika SBY selaku pelakon utama drama membawa kemunculan Antasari Azhar kedalam pusaran cerita utama yang sedang dilakoninya, yakni Pilkada DKI. Antasari Azhar pun jadi pelakon utama setara SBY.
Disinilah menariknya, drama politik selalu mampu menampilkan sebuah menuver kejutan yang tak pernah diperkirakan publik awam. Lalu apa yang didapatkan publik penonton? Tentu saja ada.
Pertama, publik penonton mendapatkan hiburan.
Apa yang ditampilkan lewat ragam media tentang drama politik itu menjadi sisi yang selalu menarik untuk diikuti dan disimak di tengah kehidupan masyarakat yang terjebak dalam rutinitas mencari makan. Pun dalam drama politik itu jarak para pelakon dengan publik penonton sangat jauh, bahkan berbeda ruang, yakni ruang penonton dan ruang pelakon.
Batas keduanya seolah jadi dekat karena batas ruang begitu transparan vulgarnya yang menampilkan secara semua tingkah laku pelakon. Beda ruang dan jarak tak membuat publik ter-alienasi dari serunya drama. Kemajuan sistem teknologi dan informasi sangat membantu menempatkan publik pada kursi terhormat di tepi panggung drama. bila panggung drama itu ibarat kotak aquarium, ruang transparan tempat drama seronok dapat disaksikan dari empat sisi.
Satu hiburan yang jarang diungkap bahwa publik penonton bisa menyaksikan para mantan pejabat tinggi “telanjang” atau “ditelanjangi” tak beda dengan ketelanjangan hidup keras rakyat. Banyak hal yang dulunya tabu dilihat dan pantang diketahui atas dasar citra dan wibawa pemerintah yang melekat di diri pejabat, kini tak lagi tabu. Hal tersebut menjadi hiburan tersendiri. Publik melihat kesakitan, kemarahan, kegilaan para pejabat itu sebagai hiburan karena tak disangka mirip dengan kehidupan publik sehari-hari yang keras.
Kedua, publik penonton mendapatkan pembelajaran.
Ragam perspektif bisa publik dapatkan. Suasana jadi semarak ketika adegan di tiap tahapan drama menjadi pembicaraan santai di ruang publik. Muncul banyak referensi yang hidup di ruang publik. Kini referensi tak melulu tentang sulitnya mencari rupiah demi rupiah untuk yang bikin pusing kepala. Tak melulu tentang tuntutan kebutuhan dasar anak dan istri di rumah.
Ruang pubik itu kini telah menjadi kaya akan ‘gossip bersama’ yang berubah jadi hiburan sekaligus pembelajaran komunal. Hiburan yang mencerdaskan orang awam saat mereka “mendadak” mampu mengkritisi drama tersebut. Di ruang publik itu mereka saling berbagai pemikiran kritis ala orang awam. Seringkali justru muncul pemikiran yang lebih hebat dari ahli politik itu sendiri. Publik menjadi manusia bebas bicara apapun menurut pemikirannya sebab tak punya urusan langsung dengan drama politis tersebut. Drama politik adalah tetap drama para elit, sedangkan posisi publik penonton tetap tak berubah. Kedua pihak itu masing-masing punya dinamika tersendiri.
Ketiga, publik menjadai familiar terhadap politik tercanggih.
Dulu publik tak begitu paham politik. Domain politik ada pada elit politik, namun kini publik diajarkan bagaimana sebuah politik canggih itu bermain di tataran elit, dan kemudian terbongkar ketika permainan mereka dipenuhi kepalsuan, intrik atau kecurangan tersebab karakter asli yang melekat. Karakter itu semula tersembunyi. Kini publik menjadi familiar dengan keberagaman karakter para pelakon saat manuver politik tercanggih dimainkan dan disaksikan secara transparan sejak awal sampai akhir cerita.
Publik Butuh Drama Politik
Drama politik merupakan keniscayaan dunia politik. Harus diakui kemudian, selain menghasilkan tontotan yang memuakkan, namun disii lain menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Apa yang didapatkan publik dari tontotan melodrama politik negeri ini sadar atau tidak merupakan ‘anugerah’ yang mengalir bagi pendewasaan publik, setidaknya bagi generasi muda pembelajar yang kelak jadi pelaku politik masa depan. Apa yang baik yang telah mereka tonton bisa ditiru dan disempurnakan, sebaliknya yang buruk dibuang. Ke depannya para pemegang estafet politik negeri ini tak lagi mengulangi kebodohan-kebodohan lakon pendahulunya. Dengan begitu, kalaupun kelak ada drama politik masa depan, maka diharapkan drama itu jadi tontonan yang lebih berkualitas.
---
Peb/15peb2017