Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bayar dengan Harga Ekonomi atau Harga Hati, Ya?

14 Februari 2017   06:11 Diperbarui: 14 Februari 2017   17:53 9852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: ywabs.sch.id

"Paa..tu’ ! Paaaa...tuu’! Paaaaa...tuuu’! Spaaaatuu’!" Begitulah suara orang yang awalnya samar-samar kemudian semakin jelas terdengar.

Saat itu saya sedang asik nonton berita di televisi dengan kawan sambil ngobrol terkait banyak hal di negeri ini. Karena suara “patu’ tadi, saya meninggalkannya untuk bergegas ke pintu utama, membukanya kemudian keluar. Saya clingak-clinguk mencari arah suara. Tampak seorang bapak tua dengan pikulannya berjalan menjauh dari rumah saya. Orang itu pun saya panggil. "Paatuu!"

Singkat kata, Si Bapak sudah ada di teras rumah saya. Kami pun ‘bertransaksi’. Saya kemudian masuk kerumah sebentar untuk mengambil dua pasang sepatu dan memberikan kepada bapak tua tadi. Penampilan Si Bapak sangat bersahaja, bahkan mendekati lusuh. Baju seadanya dengan topi yang tak jelas lagi warnanya. Badannya kurus. Kulitnya gelap dan mengilat karena terik matahari. Dua kotak kayu ukuran kardus mie instan dan pikulan dari bambu tampak menyatu dengan seluruh penampilannya itu.

Dia kemudian duduk di kotak kayu tersebut dan mulai bekerja di teras rumah. Saya temani sebentar dan ngobrol dengan Si Bapak. Dia bicara sambil bekerja.

Saya jadi tahu rumahnya cukup jauh dari tempat saya. Dia tinggal bersama istri, dua anaknya yang masih sekolah SMA, serta dengan dua orang cucunya. Orang tua cucunya adalah anak perempuan tertua dari Si Bapak. Namun tidak tinggal dengan mereka karena ‘pergi entah ke mana' setelah bercerai dengan suaminya. Banyak lagi yang saya ketahui tentang Si Bapak, termasuk soal pendapatannya perhari. Terbayang ‘susahnya’ hidup Si Bapak. Setiap hari jalan kaki dari rumahnya, disengat matahari demi menafkahi keluarganya.

Saya kemudian pamit dengan Si Bapak yang tetap bekerja karena ingat ada kawan di dalam rumah. Setelah di dalam rumah, teman saya itu bertanya; “Ada apa sih di luar, Peb?” Saya jelaskan tadi memanggil tukang sol sepatu keliling yang lewat depan rumah. Dua pasang sepatu saya sedang bermasalah. Salah satu sepatu ada yang alas karet busa dalamnya hilang ketika sepatu dijemur sehabis dicuci. Mungkin hilangnya tertiup angin. Yang satu pasang lagi alas dalamnya sudah kurang nyaman dipakai. Jadi mau tidak mau keempat alas busa dalamnya harus diganti.

Berapa semua harganya?” tanya kawan saya itu.

“Lima puluh ribu” jawab saya.

Haaah! Mahal amat! Emangnya tidak ente tawar?”

“lhaa...ndak tuh”

Mahal itu bro, ente kena tipu. Harganya tidak segitu. Paling mahal 25ribu. Harusnya ditawar dulu.

Saya terdiam sebentar sembari menatap berita di televisi. Entah kenapa, saya seperti tersentak.

Dia adalah kawan lama. Namanya Dedi (nama saya samarkan), seorang insinyur teknik yang kuat hitungannya. Soal membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan menghitung konstruksi bangunan proyek dia lah jagonya. Kami sering kerjasama. Saya urusan mendisain dan pengawasan lapangan, dia urusan hitung-hitungan. Diluar masalah pekerjaan utama kami sering berdebat banyak hal negeri tercinta ini, khususnya berkisar sosial, budaya dan politik. Bukan karena kami ahli dibidang itu, tapi karena merasa 'asik-asik aja' membicarakannya. Termasuk sebelum teriakan “Paaa...tuu’..” tadi memutuskan pembicaraan kami.

“Tadi memang tidak kutawar ketika dia mengajukan harga. Aku kok kasihan pak sol sepatu itu. Dia berjalan jauh, lho... Tadi sempat ngobrol dengannya. Katanya, aku adalah orang kedua yang pakai jasanya hari ini. Sekarang udah sore, mungkin hanya satu orang lagi saja yang bisa dia dapatkan bila beruntung sebelum pulang ke rumahnya”.

Ah, kau ini, urusan kayak gitu jangan pakai perasaan dong. Kalau semua pakai perasaan bisa ancur negeri ini. Hahahaha!”

“Bukan gitu...” belum sempat saya selesaikan pembicaraan sudah dia potong. Waah, kayaknya tema debat bakal beralih, nih.

Iya, Peb. Aku berkawan sama kau bukan kali ini aja. Udah bertahun-tahun. Kuperhatikan kau memang suka pakai perasaan untuk urusan ekonomi. Kau tau, banyak lagi orang menderita di luar sana, masak semua harus dikasihani? Harusnya kau tahu, dalam hidup ini tiap orang punya mekanisme pertahanannya sendiri. Biarkan mekanisme itu berjalan. Untuk cari makan, setiap orang harus fight dengan bidangnya.Kita pun harus fight dengan bidang kita.

“Soal urvival mechahism dan fight itu aku pahamlah”

Naaah.....apalagi, masak gak diterapkan? Ingat, Pep...soal duit...kita yang pegang kendali duit kita, bukan orang lain. Masak kau mau ditipu mentah-mentah begitu.

“Aku tak merasa ditipu, bro...enak aja! Pertimbanganku itukan soal rasa kasihan atau penghargaan, dia jalan kaki jauh cari pelanggan. Kalau aku yang cari tukang sol sepatu terdekat mesti ke Simpang Dago. Lumayan, jauh. Mana parkirnya susah lagi. Eeh...ini Si Bapak sol sepatu itu datang kasi kemudahan, sementara dia sendiri tak mengalami hal mudah untuk sampai ke rumahku ini.”

Entah kenapa, dengan debat kecil ini saya coba mendapatkan alasan agar faktor perasaan itu berubah jadi rasional. Intinya saya tidak mau kalah. Hahahaha!

Halaaah...soal dia jalan kaki itu kan pilihan dia cari makan, Peb. Bisa aja kan kalau mau dia ‘ngetem’ aja di emperan depan toko nunggu pelanggan. Resiko sol sepatu keliling ya...jalan kaki dan berkeringat, dong

Saya hampir mati akal. Jujur saja, saya memang sering pakai perasaan dalam menilai ‘harga’ sesuatu terkait sejumlah pekerjaan 'orang kecil'. Sering kalau dompet terasa nyaman dan hati senang maka tidak saya tawar-tawar lagi. Sering saya mikir atau membayangkan, “ini gimana mengolah bahannya? Pasti sulit mengerjakanya. Pasti harus mempersiapkan sejak dini hari. Eeeeh, kok harganya cuma segitu. Rasanya tidak sebanding tenaga dan waktu yang telah dia keluarkan. Tapi memang harga pasarannya segitu. Mau apa lagi.” Begitulah sering saya terpikir. Bila dibandingkan pekerjaan saya sekarang ini, rasanya saya jauh lebih beruntung.

Tiba-tiba terbertik ide menanggapi lagi celoteh Si Dedi tadi.

“Ded, tapi aku membayar pak sol sepatu itu dengan harga hati, bukan harga ekonomi. Yang aku dapatkan sepatuku beres dan aku jadi bahagia tuh...”

“Hahahahahaha! Adam Smith bisa bangkit dari kubur dengar teori ngaco kau itu.”

Kembali saya mati langkah. Segera saya pamit sebentar keluar rumah karena untuk melihat bapak sol sepatu itu apakah kerjaannya sudah selesai atau belum. Sengaja saya lama-lama di luar karena kehabisan mesiu debat dengan Dedi, heu..heu..heu..!

-------

Ini adalah debat kecil yang nyata. Saya menuliskannya dengan hati untuk dibagikan ke Kompasiana. Saya tidak punya kesimpulan untuk artikel ini. Pembaca bebas menyimpulkannya sendiri dengan hati atau pikiran rasional.

Artikel kini bukan dimaksudkan untuk menampilkan saya sebagai obyek utama. Bukan pula saya sebagai sinterklas, sosok hebat, tidak hebat, bodoh-tidak bodoh dan lain sebagainya. Saya percaya banyak 'saya saya yang lain' dan banyak pula 'Dedi Dedi lain' di antara para pembaca.

Mengutip kalimat unik sebuah iklan parfum di tivi, “Selanjutnya terserah Anda”.

Kata Mukidi-penasehat spiritual saya sih... ”Bahagia itu ada di dalam hitungan hati, bukan di hitungan ekonomi”....#eeeh, aku mendadak jadi tersipu malu!

Selamat hari Kasih Sayang, Happy Valentine Day....

-----

Peb/14Peb2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun