Saya hampir mati akal. Jujur saja, saya memang sering pakai perasaan dalam menilai ‘harga’ sesuatu terkait sejumlah pekerjaan 'orang kecil'. Sering kalau dompet terasa nyaman dan hati senang maka tidak saya tawar-tawar lagi. Sering saya mikir atau membayangkan, “ini gimana mengolah bahannya? Pasti sulit mengerjakanya. Pasti harus mempersiapkan sejak dini hari. Eeeeh, kok harganya cuma segitu. Rasanya tidak sebanding tenaga dan waktu yang telah dia keluarkan. Tapi memang harga pasarannya segitu. Mau apa lagi.” Begitulah sering saya terpikir. Bila dibandingkan pekerjaan saya sekarang ini, rasanya saya jauh lebih beruntung.
Tiba-tiba terbertik ide menanggapi lagi celoteh Si Dedi tadi.
“Ded, tapi aku membayar pak sol sepatu itu dengan harga hati, bukan harga ekonomi. Yang aku dapatkan sepatuku beres dan aku jadi bahagia tuh...”
“Hahahahahaha! Adam Smith bisa bangkit dari kubur dengar teori ngaco kau itu.”
Kembali saya mati langkah. Segera saya pamit sebentar keluar rumah karena untuk melihat bapak sol sepatu itu apakah kerjaannya sudah selesai atau belum. Sengaja saya lama-lama di luar karena kehabisan mesiu debat dengan Dedi, heu..heu..heu..!
-------
Ini adalah debat kecil yang nyata. Saya menuliskannya dengan hati untuk dibagikan ke Kompasiana. Saya tidak punya kesimpulan untuk artikel ini. Pembaca bebas menyimpulkannya sendiri dengan hati atau pikiran rasional.
Artikel kini bukan dimaksudkan untuk menampilkan saya sebagai obyek utama. Bukan pula saya sebagai sinterklas, sosok hebat, tidak hebat, bodoh-tidak bodoh dan lain sebagainya. Saya percaya banyak 'saya saya yang lain' dan banyak pula 'Dedi Dedi lain' di antara para pembaca.
Mengutip kalimat unik sebuah iklan parfum di tivi, “Selanjutnya terserah Anda”.
Kata Mukidi-penasehat spiritual saya sih... ”Bahagia itu ada di dalam hitungan hati, bukan di hitungan ekonomi”....#eeeh, aku mendadak jadi tersipu malu!
Selamat hari Kasih Sayang, Happy Valentine Day....