Saya terdiam sebentar sembari menatap berita di televisi. Entah kenapa, saya seperti tersentak.
Dia adalah kawan lama. Namanya Dedi (nama saya samarkan), seorang insinyur teknik yang kuat hitungannya. Soal membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan menghitung konstruksi bangunan proyek dia lah jagonya. Kami sering kerjasama. Saya urusan mendisain dan pengawasan lapangan, dia urusan hitung-hitungan. Diluar masalah pekerjaan utama kami sering berdebat banyak hal negeri tercinta ini, khususnya berkisar sosial, budaya dan politik. Bukan karena kami ahli dibidang itu, tapi karena merasa 'asik-asik aja' membicarakannya. Termasuk sebelum teriakan “Paaa...tuu’..” tadi memutuskan pembicaraan kami.
“Tadi memang tidak kutawar ketika dia mengajukan harga. Aku kok kasihan pak sol sepatu itu. Dia berjalan jauh, lho... Tadi sempat ngobrol dengannya. Katanya, aku adalah orang kedua yang pakai jasanya hari ini. Sekarang udah sore, mungkin hanya satu orang lagi saja yang bisa dia dapatkan bila beruntung sebelum pulang ke rumahnya”.
“Ah, kau ini, urusan kayak gitu jangan pakai perasaan dong. Kalau semua pakai perasaan bisa ancur negeri ini. Hahahaha!”
“Bukan gitu...” belum sempat saya selesaikan pembicaraan sudah dia potong. Waah, kayaknya tema debat bakal beralih, nih.
“Iya, Peb. Aku berkawan sama kau bukan kali ini aja. Udah bertahun-tahun. Kuperhatikan kau memang suka pakai perasaan untuk urusan ekonomi. Kau tau, banyak lagi orang menderita di luar sana, masak semua harus dikasihani? Harusnya kau tahu, dalam hidup ini tiap orang punya mekanisme pertahanannya sendiri. Biarkan mekanisme itu berjalan. Untuk cari makan, setiap orang harus fight dengan bidangnya.Kita pun harus fight dengan bidang kita.”
“Soal urvival mechahism dan fight itu aku pahamlah”
“Naaah.....apalagi, masak gak diterapkan? Ingat, Pep...soal duit...kita yang pegang kendali duit kita, bukan orang lain. Masak kau mau ditipu mentah-mentah begitu.”
“Aku tak merasa ditipu, bro...enak aja! Pertimbanganku itukan soal rasa kasihan atau penghargaan, dia jalan kaki jauh cari pelanggan. Kalau aku yang cari tukang sol sepatu terdekat mesti ke Simpang Dago. Lumayan, jauh. Mana parkirnya susah lagi. Eeh...ini Si Bapak sol sepatu itu datang kasi kemudahan, sementara dia sendiri tak mengalami hal mudah untuk sampai ke rumahku ini.”
Entah kenapa, dengan debat kecil ini saya coba mendapatkan alasan agar faktor perasaan itu berubah jadi rasional. Intinya saya tidak mau kalah. Hahahaha!
“Halaaah...soal dia jalan kaki itu kan pilihan dia cari makan, Peb. Bisa aja kan kalau mau dia ‘ngetem’ aja di emperan depan toko nunggu pelanggan. Resiko sol sepatu keliling ya...jalan kaki dan berkeringat, dong”