[caption caption="sumber gambar ; http://img2.bisnis.com/bandung/posts/2013/04/16/341818/sby-twitter.jpg"][/caption]
Celoteh dunia maya pak SBY memang Ampuh menjadikan dunia maya gempar dan gegap gempita dengan ragam aksi celoteh balik. Kini pak SBY membuat cuitan lagi yang tak kalah heboh bagi sebagian publik padahal belum reda panasnya masalah dugaan penyadapan pembicaraan via telponnya ‘meminta’ fatwa ketua MUI terkait “penistaan agama” oleh Ahok.
Sebagai warga negara yang baik, tak salah seorang SBY perduli pada situasi dan kondisi negaranya terkini. Seperti halnya orang lain yang cinta tanah air dan bangsanya dan perduli berbagi pikiran dan peserasannya. Dari situ diharapkan ‘pemerintah’ mengetahu sebagian ‘maunya’ rakyat. Tapi kemudian kenapa SBY menjadi berbeda dengan orang lain yang sama-sama memegang akun twitter? Bagaimana cara melihat hal tersebut?
Hukum Fisika di Twitter
Ada aksi tentu ada reaksi. Begitulah hukum fisikanya. Ada reaksi dilanjutkan dengan reaksi lanjutan. Ketika aksi dan reaksi terus berlanjut, menjadi tak jelas lagi siapa pelaku aksi dan siapa pelanjut aksi. Ketika pendukung SBY melakukan “aksi reaksi” terhadap ”reaksi reaksi” publik yang kontra pak SBY, maka jadilah rentetan aksi reaksi. Demikian pula sebalik.
Munculnya rasa malu, kesal ,kemarahan, sinis, kekecewaan, dan beragam nada terlihat dominan terkait cuitan twitter pak SBY. Lalu dimana pak SBY setelah melempar cuitannya? Apakah ada tanggapan balik menjelaskan lebih lanjut tentang maksudnya? Adakah niat menjawab setiap reaksi para netizen? Disinilah menariknya. Pak SBY hampir tidak pernah ‘membalas’ coleteh reaksi para netizen. Mungkin habis nge-twitter beliau duduk manis, nonton tivi sambil ngemil. Atau setelah melempar celoteh “hangat”, justru beliu berdoa khusyuk demi ketentraman negeri ini? Bukankah rasa nyaman dan ketenteraman bisa didapatkan dari sebuah “kehangatan”? Heu..heu..heu...
Hal terjadi di lapangan maya kesan yang muncul adalah “pak SBY mementik api ke tumpukan jerami. Setelah menyala dan membara, kemudian beliau pergi”. Untuk apa api itu menyala? Apakah dimaksudkan sebagai solusi terhadap sesuatu masalah yang butuh nyala api? Apakah ketika jerami terbakar masalah menjadi selesai?
Pertemuan Sudut Pak SBY dan Kaum Jerami
Secara kasad mata dan rasa publik tak mendapatkan jawabannya. Mereka sibuk membakar dirinya dengan rangkaian celoteh baik (reaksi) yang makin membesar dalam viralitas interpretasi dan persepsi. Tercipta stigma tertentu terhadap pak SBY yang tidak mengutungkan beliau.
Mungkin ada kepuasan publik saat berada dalam jerami itu. Saat menjadi api dan bara kemudian hangus seolah sebuah kenikmatan ditengah himpitan “rutinitas dan beratnya menjalani kehidupan di dunia nyata”. Sungguh menarik ketika sebuah kenikmatan didapatkan dalam hawa panas. Kalau hal ini yang jadi tujuan “pantikan api” SBY, maka beliau telah berhasil menjadi “aktivis twitter” yang mumpuni ; beliau menjadi inspirator dan fasilitator sebuah pencapaian kenikmatan komunal di dunia maya (medos). Pak SBY sudah berpengalaman menjadi pemimpin dan sungguh paham seluk beluk rakyatnya. Beliau sangat tahu cara memuaskan mereka di dunia maya. Sampai di sini, tujuan pun tercapai, dan persolan selesai.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah sesederhana itu saja tujuan seorang SBY? Kita lihat bahwa pak SBY memiliki setting diri yang beragam yakni ; mantan presiden, ketua partai besar, orang tua salah satu calon gubernur DKI, pencipta lagu, aktivis twitter ‘hits maker’, dan lain sebagainya. Semua itu melekat di sosoknya hingga kini. Setiap setting itu oleh publik bisa menjadi "bahan bakar paling maknyos" atau landasan munculnya banyak ‘’interpretasi tujuan’’ seorang SBY. Bisa pula berupa “campuran setting” untuk menjadi sebuah interpretasi tujuan yang lebih kompleks.