Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kenali Emosi Sendiri Sebelum Menulis Artikel

3 Desember 2016   02:10 Diperbarui: 3 Desember 2016   02:30 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber gambar ; http://linisehat.com/wp-content/uploads/2016/10/gangguan-emosional.jpg"][/caption]

Menulis artikel jadi persoalan besar bagi sebagian orang. Akan menulis apa? Sementara keinginan menulis sangat besar, namun tidak tahu apa yang akan ditulis. Aneh, bukan?

Beda halnya bila tidak ada keinginan menulis, dan tidak tahu apa yang akan ditulis. Kalau demikian banyak pilihan kegiatan, misalnya; tidur, nonton tivi, ngomong sendiri depan tembok atau guling-guling sendiri di lantai. Tidak ada larangan sejauh hal itu tidak mengganggu ketertiban umum, heu heu heu...

Permasalahan bisa muncul ketika 'nafsu' menulis sedang tinggi tapi 'gagal fokus' pada tema yang akan ditulis. Kondisi ini menjadi titik kritis karena 'nafsu menulis' bisa saja menjerumuskan si Penulis pada 'lembah nista' dunia menulis. Ketika nafsu menulis begitu besar, sementara disaat yang sama tersedia banyak issue aktual dan seksi menggoda maka bila nafsu itu tak di-manage dengan baik dan lupa cermin diri, maka titik kritis itu merupakan pintu masuk ke lembah nista kepenulisan.

Satu contoh issue aktual dan seksi adalah masalah politik terkini. Issue tersebut 'menawarkan' popularitas bagi si Penulis. Disisi lain, seorang penulis punya keingainan eksis lewat tulisannya. Bisa jadi sebelumnya si Penulis jarang menulis tema politik. Atau, sudah terbiasa menulis tema politik namun belum puas pada artikel yang pernah ditulis sebelumnya.Tanpa pikir panjang, si Penulis pun 'nekat' masuk ke tema politik demi eksitensi dan popularitas yang instan.

Kegiatan menulis melibatkan emosi si Penulis. Saat 'meramu kata-kata' di artikelnya, si Penulis larut dalam emosinya. Dia lebur dalam euforia issue politik dan aneka ekstasi kata-kata dan kalimatnya yang membuat si Penulis tidak lagi mengenali diri sendiri. Unsur cita, rasa dan karsa didominasi tuntutan popularitas instan dan pencapaian eksistensi diri yang ingin didapat dari para pembaca. Maka terciptalah sebuah artikel bombastis. Celakanya, artikel tersebut dianggap si Penulis sudah sesuai harapan tanpa perenungan ulang. Toh ini artikel itu hasil pemikiran sendiri. Waduuh...!

Artikel bombastis bukanlah sesuatu yang 'nista' sejauh isinya memiliki pesan positif, patuh pada etika dan segala aturan dunia menulis. Tapi bila artikel bombastis itu terjebak pada emosi yang memuat ujaran kebencian, fitnah dan provokasi maka disinilah permasalahan akan muncul.

Si Penulis berubah jadi penista issue-fakta-data, penista kebenaran dan lebih dari itu dia menjadi penista pikirannya sendiri dengan penciptaan kebohongan publik. Pembaca dibuat marah.

Nasib mujur si Penulis, dia dipuja para pembaca sepemikiran namun tak memberi nilai tambah bagi wacana politik terkini yang ditulisnya. Nasib baiknya, Si Penulis hanya dihujat para pembaca, Sedangkan nasib sialnya adalah si Penulis dituntut secara hukum dan kemudian masuk penjara karena melanggar undang-undang.

Persoalannya sederhana, yakni si Penulis tidak bisa mempertanggungjawabkan tulisannya dengan data valid, etika kepenulisan dan segala rambu-rambu dalam menulis artikel.

Cara sederhana agar terhindar dari masalah adalah mengenali emosi diri sebelum menulis artikel. Kalau pun sedang emosi dan hasrat menulis sedang tinggi menulislah seperti orang gila, namun baca ulang tulisan dengan cara waras. Sebaiknya tidak buru-buru mempublis tulisan tersebut. Baca ulang berkali-kali dan renungkan saat melakukan editing tulisan. Kalau perlu, biarkan tulisan itu untuk dilihat lagi beberapa hari kemudian. Kita bisa sejenak mengambil jarak dan waktu terhadap tulisan yang kita hasilkan agar ada ruang berpikir secara jernih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun