“Bagaimana itu terjadi, pak?” Tanya reporter Es Teh Tipi
“Sudah jangan banyak tanya, pokoknya kami menuntut kang Pep karena dia telah menistakan libido menulis. Kompasiana Eror melulu sampai ke pulau sewu sehingga kami bisa menuntaskan Libido? Bayangkan, betapa terhinanya kami ! Ini penzoliman. Ini tidak adil!" Suara menggelegar dari Felix anarkis. Terlihat hidung besarnya kembang-kempis karena penuh dendam. Sementara janggutnya melambai laksana daun kelapa di pantai.
“Tapi pak, bukankah kang pep sedang mencalonkan diri menjadi ketua Kompasiana untuk kedua kali?” tanya reporter dari Kran tipi.
“Itu dia, dibalik usaha mulia ini kami tak ingin dia jadi ketua Kompasiana lagi. Makanya kami tuntut untuk diproses hukum.”
“Lho, pak...bukankah kang pep sudah meminta maaf lewat media bahwa Kompasiana error karena mengalami optimasi sistem?” tanya reporter itu lagi.
“Enak aja minta maaf, tak usyaah yaa...emang eiyke cowok apaan?....dalam kamus kami tak ada kata berdamai dan maaf atas penistaan itu. Pokoknya kang pep harus salah.” Kata Felix anarkis.
Lebih lanjut dia katakan; “Mohon dipahami, tuntutan kami itu hanya modus saja, yang kami inginkan sebenarnya adalah kang pep tak boleh ikut pemilihan ketua Kompasiana. Paham?....dan harus diingat bahwa kami berlandaskan prinsip “pokoknya” !!....jadi biarpun sudah diproses hukum, pokoknya kang pep harus dihukum sebelum pemilihan! "
Terdengar teriakan rombongan di belakang Felix anarkis: Hukum!! Hukum...yeaagghh!!
"Maaf pak, Pokok atau Popok?" Tanya reporter Mitro tipi.
"Dengar, ya..saya ulangi ; 'Popok nya harus dihukum!! Sekalai lagi..Popoknya harus dihukum! Catat itu. Paham?!!" Teriak Felix secara anarkis.
“Besok kami akan melakukan demo besar-besaran di taman lawang. Demo itu akan diikuti oleh ratusan ribu penulis yang merasa dinistakan karena tidak bisa login. Pemberitahuan ini sekaligus sebagai undangan kepada semua orang. Catet itu !!” seru Felix anarkis.