Kabar rencana demonstrasi besar-besaran tanggal 4 November sudah merebak luas. Ratusan ribu orang dikabarkan akan mengepung Istana Negara.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia memberi ruang politik bagi elemen masyarakatnya untuk menyampaikan aspirasi. Tentu saja ada aturannya, yakni harus melewati izin dari pihak keamanan. Ini sebuah prosedur standar sesuai konstitusi.
Demonstrasi 4 November itu berlabel 'Jihad Konstitusional' bisa diartikan adanya semangat para peserta aksi demonstrasi tetap dalam jalur konstitusi. Namun demikian apakah pelaksanaannya di lapangan bisa 'tertib dan konstitusional?' Ini pertanyaan besar.
Sebagian publik merasa 'ngeri' membayangkan demonstrasi itu. Terbayang situasi tak terkendali, kemudian terjadi rusuh besar di Ibu Kota Negara yang berdampak politik di seluruh negeri ini.
Kekhawatiran publik tersebut tak bisa disalahkan. Ada sejumlah faktor yang mendasari pikiran-psikologis publik tersebut. Faktor penyebabnya, misalnya;
- Pertama, jumlah peserta demonstrasi sangat banyak (ratusan ribu). Bagaimana cara mengendalikan massa sebanyak itu? Apakah bisa dijamin tidak ada kelompok penumpang yang bertujuan bikin rusuh?
- Kedua, organisasi FPI yang jadi salah satu motor demonstrasi memiliki 'track record' kurang baik di mata publik karena berbagai tindakan anarkisnya di sejumlah tempat dan peristiwa,
- Ketiga, ada kabar peserta demonstrasi sudah diminta untuk menyiapkan 'surat wasiat' (Sumber). Apakah ini jadi penanda 'siap mati' di lapangan? Kalau siap mati, bisa diartikan siap melakukan perlawanan sampai mati di lapangan. Siapa yang dilawan? Aparat keamanan yang menjaga keamanan dan ketertiban? Atau siap mati melawan kelompok 'penumpang' yang membuat demontrasi jadi tidak konstitusional?
Struktur di Kelompok Demonstrasi
Dalam aksi demo ada struktur operasi lapangan dan non-lapangan yang resmi dicantumkan dalam perizinan kepada pihak keamanan. Dalam struktur itu tentu ada penggagas, ketua beserta jajaran di bawahnya seperti juru bicara, juru kendali lapangan dan lain sebagainya.
Pada demonstrasi tanggal 4 November nanti, Habib Rizieq, pemimpin FPI memberi jaminan kepada Polda Metro Jaya bahwa demonstrasi akan berlangsung aman, walau tidak menjamin sepenuhnya tertib.
Pada konteks demontrasi itu, Habib Rizieq adalah pemimpin ormas (organisasi masyarakat).
Selain pemimpin organisasi massa, akan ada petinggi DPR-RI yang ikut serta. Mereka adalah Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Keduanya wakil ketua DPR-RI yang merupakan pemimpin formal struktur pemerintahan negara di lembaga Legislatif.
Kehadiran wakil ketua DPR-RI dalam demonstrasi pada Presiden menjadi sesuatu yang 'menggelikan' mengingat keduanya di lembaga DPR-yang setara dengan lembaga presiden. Terlepas dari apakah kehadiran mereka atas nama pribadi, tentu tetap saja menjadi tanda tanya besar: kenapa massa tidak berdemo di gedung DPR-tempatnya para wakil rakyat 'berjuang'? Kenapa justru petinggi DPR ikut turun ke jalan 'menyosor' Istana Negara (presiden)?
Kehadiran dua wakil ketua DPR dan banyaknya peserta demonstrasi bisa menjadi pertanda ketikadakmampuan DPR-RI menyerap aspirasi elemen masyarakat. Apakah dua orang wakil wakil DPR yang 'ikutan' demonstrasi karena 'sudah tidak mampu' bekerja di DPR? Atau menyembunyikan  ketidakmampuan sebagai DPR dengan cara mengambil simpati massa dan ambil bagian dalam aksi demonstrasi besar?