Tadi Agustus datang lagi. Sangat keras ketukannya di pintu ruangku. Entah keberapa kali ia datang. Perilakunya tak berubah. Selalu membuat wajahku memerah dan panas bagai bara. Aliran darah mendidih membedaki seluruh kulitku.
Selalu dinyatakannya ; "September akan datang! September akan datang! Bersiaplah!"
Setelah itu ia berlalu, meninggalkan gemeretak gerahamku. Tak pernah ia mau menatap mataku saat pintu kubuka.
Pernah sekali kulayangkan tangan padanya. Ingin kujambak sosoknya. Padahal jarak telah kuukur, tenaga telah kusiapkan, momentum telah kuhitung. Tapi juga tak teraih. Ia telah lebih dahulu membelit tubuhku. Dibungkamnya mulutku di setiap tarikan nafas yang kuhembus. Hanya dengan aroma kesombongannya, Â semua titik koordinat gerakanku dimatikannya.
Agustus tak pernah mau tahu aku benci September. Pernah kuteriakan padanya aku lebih baik mati daripada harus menjamu September di ruangku. Tapi Agustus tak menggubris. Ia hanya tersenyum sinis, kemudian berucap ; Pengecut!
Agustus sebenarnya tahu aku benci September. Pernah kuceritakan pada Juni dan Juli bahwa September selalu menurunkan hujan. Dimasa lalu, ditengah kebahagianku tiba-tiba hujan badai memadamkan sebuah api cinta milikku yang baru mulai bernyala. Kemudian, dihanyutkannya sumbu rasaku ke selokan kota yang berbau.
Pada saat itu aku, atau siapapun, akan sungguh merasa terhina.
Aku berharap Juni dan Juli menyampaikan ceritaku pada Agustus saat kami bertiga sama-sama diperjalanan mengumpulkan debu kemarau. Kupikir itu kesempatan yang tepat membicarakannya.Â
Aku amati Juni dan Juli tampak setengah hati. Tersirat keduanya merasa memiliki derajat lebih tinggi. Keduanya katakan paham perangai Agustus. Tapi ia bukan bukan level Juni dan Juli. Aku tak perduli, aku tetap bermohon dengan kuasa mereka bisa sampaikan ceritaku.
Dari mereka berdua pula aku jadi tahu sebab perangai Agustus yang menjengkelkan itu. Sebenarnya ia benci dirinya sendiri. Ia malu telah jadi sosok pancaroba yang labil. Ia ingin seperti Juni dan Juli atau September yang memiliki kejelasan status, yakni Kemarau atau Hujan.
Lalu kenapa Agustus begitu bersemangat mengetuk ruangku?
Ia ingin segera melihat penderitaanku. Disanalah, di saat aku bermandikan memori luka, ia merayakan kesakitanku dengan caranya. Sungguh Keparat! Ternyata diam-diam setiap bulan September ia merasa terhibur karena seolah punya kawan yang sama-sama menderita di putaran musim.
-------
Peb15/09/2016
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Romansa September RTC.
[caption caption="sumber gambar ; kompasiana.com "]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H