Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beda Nilai IPK Mahasiswa Tiap Perguruan Tinggi Bikin 'Gemes' Setelah Lulus

6 September 2016   18:05 Diperbarui: 7 September 2016   00:01 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasu II sumber gambar ; http://www.mingkem.com/wp-content/uploads/menambah-nilai-ipk-saat-kuliah-di-kampus.jpg

"Memiliki Transkrip Nilai tinggi (IPK) saat sekolah atau kuliah itu penting dan utama. Untuk hal lain, urusannya belakangan! "

Sekilas pernyataan ini tampak 'sombong' dan 'tak etis' bila dipandang dari tujuan pendidikan membentuk manusia bernilai luhur. Bandingkan pernyataan 'idealis' ini ; "Tingginya Transkrip Nilai itu tidak penting, yang penting adalah kepribadian dan etos di dunia kerja.

Bila dipandang dari sisi lain, pernyataan pertama itu tak bisa sepenuhnya disalahkan. Kenapa demikian?

Pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) tak semata hanya membentuk 'manusia. berbudi luhur' sesuai misi-visi PT', namun juga harusnya menghadapi realitas di depan mata usai si Mahasiawa lulus. Salah satunya adalah ikut seleksi mencari kerja atau mendapatkan beasiswa. Salah satu tahapan awal penilaian pihak lembaga yang menyeleksi adalah transkrip nilai.

Untuk mendapatkan nilai tinggi tidak semata kemampuan si Mahasiswa (kala masih kuliah), namun juga ditentukan 'culture' menilai perguruan tinggi dan fakultas/jurusan tempat si Mahasiswa menuntut ilmu. Ada perguruan tinggi atau jurusan yang sangat 'pelit' memberikan nilai kepada mahasiswa dengan pertimbangan 'Menjaga kualitas dan martabat' perguruan tinggi/jurusan. Namun sisi lain ada pula perguruan tinggi/jurusan yang relatif longgar memberi nilai.

sumber gambar ; https://pgsdhmj.files.wordpress.com/2011/07/ipk.jpeg
sumber gambar ; https://pgsdhmj.files.wordpress.com/2011/07/ipk.jpeg
Pada perguruan tinggi/jurusan yang 'pelit nilai dapat dipastikan rata'rata nilai IPK mahasiswanya tidak tinggi, sebaliknya pada perguruan tinggi yang longgar memiliki nilai tinggi.

Dalam suatu kota pendidikan ada banyak perguruan tinggi. Katakanlah terdapat lima perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang dikategorikan elit/papan atas/bermutu. Namun bisa jadi, dalam satu jurusan yang sama terdapat perbedaan sistem penilaian di tiap perguruan tinggi. Ada yang sangat ketat dan pelit, ada yang sebaliknya. Akibatnya bisa diterka IPK para lulusannya. Kenapa demikian?

Contoh salah satu faktor beda misalnya fakultas/jurusan 'Anu'. Ketika dibandingkan beban tugas mahasiwa ternyata tidak sama. Ada sejumlah tugas kuliah di perguruan tinggi tertentu dikerjakan secara kelompok, sementara mata kuliah pada jurusan yang sama di perguruan tinggi lain dikerjakan individual berikut tambahan jumlah materi tugas. Tentu saja beban kerja mahasiswa ini lebih besar dan menyita waktu, pikiran, dan biaya. Lebih celakanya lagi walau sudah baik dalam tugas namun nilai yang didapatpun tidak tinggi.

Otoritas Dosen dan Kejamnya Penilaian

Persoalan nila IPK tak luput dari 'otoritas' sang Dosen pengampu mata kuliah. Dengan berdasarkan kurikulum (yang tentunya sama dengan perguruan tinggi lain), si Dosen mengembangkannya lebih lanjut di acara perkuliahan, termasuklah 'memberi beban tugas' dan materi kuliah. Begitu juga soal penilaian akhir.

Ada tipe dosen yang kejam memberi materi kuliah dan tugas, ditambah pelit dalam penilaian. Ada yang kejam memberi tugas dan materi kuliah tapi 'baik hati' dalam penilaian. Ada dosen yang 'longgar' memberi materi kuliah dan tugas tapi sangat pelit dalam penilaian. Ada yang 'sudahlah longgar masih juga baik hati dan tidak sombong' dalam penilaian akhir. Mana yang lebih baik? Heu heu heu...! ini bisa jadi perdebatan tersendiri. Namun itulah realitasnya.

Kondisi 'kejam' beda penilaian ini pernah saya rasakan waktu jaman kuliah S1 dulu. Hanya bisa 'ngiler' ketika membandingkan dengan kawan-kawan dari jurusan yang sama namun berbeda perguruan tinggi. Mereka rata-rata memiliki IPK tinggi. Pemilik IPK diatas 3 cukup banyak. Apalagi IPK 2, 75 sangat banyak. (jaman itu indeks tersebut dijadikan patokan minimal untuk bersaing dalam seleksi kerja dan mendapatkan beasiswa studi lanjut). Pengalaman itu pula membentuk pola pikir tersendiri bagi saya ketika membimbing dan memberikan nilai kepada mahasiwa bimbingan. Saya 'tidak mau menghambat dan mempermainkan' peluang mereka setelah lulus. Potensi si Mahasiswa tidak saya pandang dengan kacamata kuda. Tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas.

Nilai IPK Bikin Gemes ?

Akibat dari perbedaan itu sungguh bikin 'gemes' dan 'ngenes'. Dengan tertatih-tatih saya bisa melewati angka 2,75 namun tak mampu melewati IPK 3. Jumlah mahasiswa satu angkatan sangat sedikit bisa mencapai angka tersebut. Pernah hal tersebut dikeluhkan dan disampaikan ke pihak fakultas dalam suatu dialog terbuka. Protes disampaikan dengan sejumlah argumentasi kuat dan perbandingan dari jurusan yang sama di lain perguruan tinggi. Apa jawaban pihak fakultas? Ini semua untuk menjaga mutu dan martabat kampus. Banyak yang kecewa. Sempat keluar ucapan "Mutu sih mutu, tapi semua itu 'buls++t!"

Akibat penilaian tersebut, masa itu banyak kawan yang sulit urung mendaftar seleksi masuk kerja di sejumlah perusahaan besar dan bonafit, atau mereka gagal seleksi mendapatkan beasiswa studi lanjut yang mencantumkan syarat administrasi transkrip nilai terendahnya 'sangat tinggi'. Bagaimana mau ikut seleksi bila pada tahap administrasi saja sudah digugurkan? 

Melihat dinamika mendapatkan Nilai IPK itu seringkali menjadikan setiap orang (mahasiswa) pasrah, gemes dan lain sebagainya. Namun hendaknya tidak membuat menjadi putus asa. Sekuat tenaga upayakan mendapatkan nilai optimal, kemudian mencari banyak informasi  untuk ikut seleksi sesuai nilai yang didapatkan. Selanjutnya perlahan-lahan mengumpulkan pengalaam kerja dan kegiatan sosial untuk mendapatkan peluang yang lebih baik lagi. Kalau sudah masuk ke dunia kerja sesungguhnya nilai IPK tinggi tidak lagi berpengaruh besar pada prestasi, melainkan ethos kerja, kepribadian dan pengalaman sosial.

Salam

-----

Pebrianov6/9/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun