Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beda Nilai IPK Mahasiswa Tiap Perguruan Tinggi Bikin 'Gemes' Setelah Lulus

6 September 2016   18:05 Diperbarui: 7 September 2016   00:01 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasu II sumber gambar ; http://www.mingkem.com/wp-content/uploads/menambah-nilai-ipk-saat-kuliah-di-kampus.jpg

Kondisi 'kejam' beda penilaian ini pernah saya rasakan waktu jaman kuliah S1 dulu. Hanya bisa 'ngiler' ketika membandingkan dengan kawan-kawan dari jurusan yang sama namun berbeda perguruan tinggi. Mereka rata-rata memiliki IPK tinggi. Pemilik IPK diatas 3 cukup banyak. Apalagi IPK 2, 75 sangat banyak. (jaman itu indeks tersebut dijadikan patokan minimal untuk bersaing dalam seleksi kerja dan mendapatkan beasiswa studi lanjut). Pengalaman itu pula membentuk pola pikir tersendiri bagi saya ketika membimbing dan memberikan nilai kepada mahasiwa bimbingan. Saya 'tidak mau menghambat dan mempermainkan' peluang mereka setelah lulus. Potensi si Mahasiswa tidak saya pandang dengan kacamata kuda. Tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas.

Nilai IPK Bikin Gemes ?

Akibat dari perbedaan itu sungguh bikin 'gemes' dan 'ngenes'. Dengan tertatih-tatih saya bisa melewati angka 2,75 namun tak mampu melewati IPK 3. Jumlah mahasiswa satu angkatan sangat sedikit bisa mencapai angka tersebut. Pernah hal tersebut dikeluhkan dan disampaikan ke pihak fakultas dalam suatu dialog terbuka. Protes disampaikan dengan sejumlah argumentasi kuat dan perbandingan dari jurusan yang sama di lain perguruan tinggi. Apa jawaban pihak fakultas? Ini semua untuk menjaga mutu dan martabat kampus. Banyak yang kecewa. Sempat keluar ucapan "Mutu sih mutu, tapi semua itu 'buls++t!"

Akibat penilaian tersebut, masa itu banyak kawan yang sulit urung mendaftar seleksi masuk kerja di sejumlah perusahaan besar dan bonafit, atau mereka gagal seleksi mendapatkan beasiswa studi lanjut yang mencantumkan syarat administrasi transkrip nilai terendahnya 'sangat tinggi'. Bagaimana mau ikut seleksi bila pada tahap administrasi saja sudah digugurkan? 

Melihat dinamika mendapatkan Nilai IPK itu seringkali menjadikan setiap orang (mahasiswa) pasrah, gemes dan lain sebagainya. Namun hendaknya tidak membuat menjadi putus asa. Sekuat tenaga upayakan mendapatkan nilai optimal, kemudian mencari banyak informasi  untuk ikut seleksi sesuai nilai yang didapatkan. Selanjutnya perlahan-lahan mengumpulkan pengalaam kerja dan kegiatan sosial untuk mendapatkan peluang yang lebih baik lagi. Kalau sudah masuk ke dunia kerja sesungguhnya nilai IPK tinggi tidak lagi berpengaruh besar pada prestasi, melainkan ethos kerja, kepribadian dan pengalaman sosial.

Salam

-----

Pebrianov6/9/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun