[caption caption="sumber gambar II http://4.bp.blogspot.com/-ZbfDfD5iKhw/Vy9A3UoxZHI/AAAAAAAABg0/kEvJfAmQSuwKx20bJ298dZqD4MhZ-Xe4wCK4B/s1600/ahok%2Bvs%2Brisma%2Bdi%2Bpilkada%2BDKI.jpg"][/caption]
Dukungan sebagian masyarakat Jakarta kepada Risma untuk maju dalam Pilgub DKI2017 semakin deras. Dari pihak partai politik sendiri, ketua PAN sudah secara terbuka menyatakan Risma bagus dan merupakan lawan Ahok yang seimbang.
Kedua macam arus dukungan itu kiranya sudah menjadi isyarat representasi kelayakan Risma maju di Pilgub DKI2017, terlepas dari komitmen Risma untuk tetap di Surabaya hingga habis masa jabatannya bersama Wisnu tahun 2020. Bagaimanapun politik itu dinamis, segalanya bisa jadi mungkin. Dinamika politik yang cepat dan punya daya kejut seringkali sangat permisif pada 'pelanggaran' komitmen awal seorang si Tokoh politik.
Jadi, bukan tidak mungkin Risma maju melawan Ahok karena idealisme pribadi yang terbakar atau atas 'perintah' partai PDIP selaku 'pemilik' Risma. Kalau pun itu terjadi bukanlah sesuatu yang mengejutkan lagi.
Pertarungan Dua Pendekar Gagasan yang Pekerja Keras
Ahok dan Risma adalah dua individu yang masih dalam satu 'species'. Keduanya memiliki kesamaan, yakni pendekar gagasan sekaligus pekerja keras. Keduanya masing-masing mampu melakukan banyak perubahan di wilayahnya yanh dipimpinnya.
Risma datang ke Jakarta menantang Ahok selaku petahana. Perjalanan Risma ke Jakarta mirip perjalanan Jokowi sebagai 'orang daerah' yang menantang petahana-saat itu Fauzi Bowo. Hanya bedanya, Jokowi datang sebagai orang yang memiliki gagasan dan merupakan pekerja keras. Dia adalah salah satu walikota terbaik yang diakui dunia.
Jokowi berhadapan dengan Fauzi Bowo si Pemimpin kuat namun tak banyak melakukan perubahan di Jakarta. Fauzi Bowo tak ubah 'pemimpin rutinitas'. Dia berbeda 'species' dibandingkan Jokowi. Kekuatan Fauzi Bowo 'hanya' pada takdir dirinya sebagai orang asli Jakarta (Betawi) plus gelar akademik yang tinggi (Doktor Teknik).
Pada konteks itu, rakyat Jakarta dihadapkan pada pilihan ; Memilih pemimpin yang mampu melakukan perubahan lebih baik, atau tetap dipimpin putera asli daerah berpendidikan tinggi dan sangat dibanggakan walau kebanggaan tersebut bersifat semu karena tak banyak melakukan perubahan lebih baik. Bila rakyat Jakarta salah memilih diantara Jokowi atau Fauzi Bowo maka berdampak pada percepatan perbaikan dan kemajuan pembangunan daerahnya. Sejarah kemudian mencatat suara pemilih Jakarta memenangkan Jokowi-si Pembawa gagasan dan pekerja keras.
Dua Individu Satu Species
Pada konteks Ahok vs Risma, rakyat Jakarta mendapatkan dua kandidat gubernur yang masih satu 'species'. Walau keduanya bukan putera asli daerah Jakarta, namun mereka adalah dua pendekar. Tidak ada kebanggaan semu, melainkan kebanggan riil dimana keduanya mampu melakukan perubahan di wilayah kepemimpinannya. Kekurangan mereka berdua sebagai 'bukan putera asli Jakarta' apakah masih jadi persoalan masyarakat kosmopolitan Jakarta? Ini bisa 'ya' dan bisa 'tidak', tergantung setting sebagian rakyat pemilih. Dalam realitas politik, hal ini tak bisa ditampik begitu saja.
Pertarungan Ahok vs Risma merupakan pertarungan besar dua orang pekerja keras dan pemilik gagasan. Pertarungan baru dan unik karena sama-sama masih satu 'Species'.
Ahok selaku petahana yang sudah terlebih dahulu bekerja tidak otomatis kuat dan bisa diunggulkan mengingat lawan satu speciesnya sudah bekerja hal yang sama di metropolitan Surabaya. Jadi ini adalah pertarungan 'Bigmatch' dua raksasa.
Faktor Primordialisme dan Antiklimaks Politik
Risma memiliki keunggulan lain yang nilainya bisa disepelekan dalam realitas politik negeri ini, yakni ; keunggulan primodial. Sebuah faktor politik yang seringkali menjadi naif dalam perdebatan demokrasi modern. Sebuah faktor ada dan tiada yang ternyata menjadi penentu di saat 'injurry time' atau babak 'sudden death'.
Keduanya hal tersebut sangat sensitif bersemayam di setiap pemilik suara. Faktor ini merupakan bahan bakar yang mudah menyala untuk menyingkirkan lawan. Tinggal bagaimana koordintor gerbong mengemasnya di perapian demokrasi pilkada DKI.
Dari kacamata primordial, Risma memegang kartu 'double majority' yakni 'putera asli pribumi' dan 'beragama Islam'. Sebaliknya, kedua faktor itu menjadi antithesis bagi Ahok. Sebab Ahok pemegang kartu 'Double Minority' yakni 'non pribumi' dan 'Kristen'. Diantara kedua faktor double majority Risma ada paradoks bila muncul wacana 'Haram Perempuan menjadi pemimpin'. Yang setara dengan kartu milik Ahok ; 'Haram non muslim jadi pemimpin'.
Bagi kartu Risma, hal itu Paradoks, tapi bagi kartu Ahok di sisi lain merupakan lampiran penegas.
Pada konteks primodialisme tersebut, Pertarungan 'Bigmatch' Risma vs Ahok menjadi sebuah antiklimaks demokrasi modern yang sedang ingin dibangun di negeri ini. Antiklimaks itu menjadikan Bigmach tak lebih pertunjukan 'Entertainmen Politik' ditengah pertarungan dua pemilik Gagasan dan Pekerja Keras dalam satu 'spicies'. Dalam 'entertainmen ' tersebut' unsur hebohnya sangat besar, namun sangat jauh dari serius karena idealisme politik diterbenam.
Kalaupun Ahok nantinya kalah di Pilgub DKI2017, dia 'seharusnya' bisa tetap tersenyum dan bangga, karena Risma masih satu spesies dengannya dan 'entertaimemen politik' selalu mengajak semua pelakunya untuk tetap tertawa bahagia.
Bukan begitu saudara-saudara?
--------
Pebrianov05/08/2016
Â
Â
Sumber berita ;
Â
Â
http://m.detik.com/news/berita/3268375/pan-risma-lawan-berat-ahok
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H