Pertarungan Ahok vs Risma merupakan pertarungan besar dua orang pekerja keras dan pemilik gagasan. Pertarungan baru dan unik karena sama-sama masih satu 'Species'.
Ahok selaku petahana yang sudah terlebih dahulu bekerja tidak otomatis kuat dan bisa diunggulkan mengingat lawan satu speciesnya sudah bekerja hal yang sama di metropolitan Surabaya. Jadi ini adalah pertarungan 'Bigmatch' dua raksasa.
Faktor Primordialisme dan Antiklimaks Politik
Risma memiliki keunggulan lain yang nilainya bisa disepelekan dalam realitas politik negeri ini, yakni ; keunggulan primodial. Sebuah faktor politik yang seringkali menjadi naif dalam perdebatan demokrasi modern. Sebuah faktor ada dan tiada yang ternyata menjadi penentu di saat 'injurry time' atau babak 'sudden death'.
Keduanya hal tersebut sangat sensitif bersemayam di setiap pemilik suara. Faktor ini merupakan bahan bakar yang mudah menyala untuk menyingkirkan lawan. Tinggal bagaimana koordintor gerbong mengemasnya di perapian demokrasi pilkada DKI.
Dari kacamata primordial, Risma memegang kartu 'double majority' yakni 'putera asli pribumi' dan 'beragama Islam'. Sebaliknya, kedua faktor itu menjadi antithesis bagi Ahok. Sebab Ahok pemegang kartu 'Double Minority' yakni 'non pribumi' dan 'Kristen'. Diantara kedua faktor double majority Risma ada paradoks bila muncul wacana 'Haram Perempuan menjadi pemimpin'. Yang setara dengan kartu milik Ahok ; 'Haram non muslim jadi pemimpin'.
Bagi kartu Risma, hal itu Paradoks, tapi bagi kartu Ahok di sisi lain merupakan lampiran penegas.
Pada konteks primodialisme tersebut, Pertarungan 'Bigmatch' Risma vs Ahok menjadi sebuah antiklimaks demokrasi modern yang sedang ingin dibangun di negeri ini. Antiklimaks itu menjadikan Bigmach tak lebih pertunjukan 'Entertainmen Politik' ditengah pertarungan dua pemilik Gagasan dan Pekerja Keras dalam satu 'spicies'. Dalam 'entertainmen ' tersebut' unsur hebohnya sangat besar, namun sangat jauh dari serius karena idealisme politik diterbenam.
Kalaupun Ahok nantinya kalah di Pilgub DKI2017, dia 'seharusnya' bisa tetap tersenyum dan bangga, karena Risma masih satu spesies dengannya dan 'entertaimemen politik' selalu mengajak semua pelakunya untuk tetap tertawa bahagia.
Bukan begitu saudara-saudara?
--------