" Betul, dik Nana....dia itu mahasiswa sekaligus  aktivis yang cerdas. Tapi maaf kalau saya terus terang ya, dik...sayangnya saat jadi pejabat dia lupa diri. Terlalu sibuk main proyek dan ngumpulin harta. Tidak banyak yang dia lakukan untuk masyarakat."
Nana terdiam, tapi dia berusaha menyimak dan tersenyum.
"Untunglah dia tidak masuk penjara karena kasus heboh kemarin itu, ya...sampai masuk koran dan tivi.....untunglah dia hanya diberhentikan tidak hormat. Dia dan dan pengacaranya memang lihay sehingga tidak masuk bui. Kalo ndak salah hanya bawahannya yang kena, ya? "
"Iya, mas Bambang. Waktu itu saya sampai stress memikirkannya. Harta kami banyak habis untuk bayar pengacara dan menyumpal aparat hukum. Tapi aku tetap bersyukur dia tak sampai masuk penjara. Ha ha ha! "
"Ya, dik..sama. Kami teman-temannya juga bersyukur dia selamat. Kami selalu membicarakannya. Beberapa kali reuni dia tak pernah hadir. Padahal sudah dihubungi, katanya sih dia akan datang."
Nana agak terkejut. Tak pernah suaminya memberitahu adanya reuni kampusnya. Kalau dia tahu, tentu dia ingin ikut suaminya menghadiri reuni. Bertemu dan kenal teman-teman kampus suaminya.
"Dulu saat dipuncak kariernya dia pernah bertemu saya. Dia katakan akan minta pensiun dini dari birokrasi dan mau bergabung di partai politik. Dia mau mewujudkan cita-cita lamanya jadi politikus dan jadi Anggota Parlemen. Tapi sekarang sudah tidak mungkin, ya....sejak kasus itu namanya sudah rusak dan tidak laku dijual. Tak apalah yang penting dia sekarang tetap sehat dan tidak masuk penjara. He he he!"
Nana ikut tertawa. Tapi hatinya garing. Tak pernah suaminya memberitahu cita-citanya jadi anggota parlemen. Dulu dia kenal suaminya saat sudah jadi pegawai negeri sebuah departemen.
"Oh, ya dik Nana...dulu, saking inginnya jadi politikus dan ketua parlemen, kalau sedang santai di sekretariat pergerakan, dia suka menggambar kursi. Sketsanya bagus, lho....Ahh, jangan-jangan sekarang dia sudah lupa cara membuat sketsa kursi, ya.."
Mendadak pandangan Nana serasa gelap.
------