Publik dipertontonkan ungkapan dan manuver 'anti kebangsaan' justru dari sejumlah elit politik, elit hukum, tokoh masyarakat, selebritas yang saban hari terlihat hebat di media dan dikagumi masyarakat luas. Sebuah tontonan anti-kebangsaan yang meruntuhkan kekaguman sekaligus pertanyaan besar publik pada cara memahami kebangsaan itu sendiri.
Tontonan itu mengungkapkan realitas sejumlah elit politik, hukum, tokoh masyarakat dan selebritis publik ternyata jadi 'orang sakit parah' ketika harus menghadapi soal ujian kecil dari kehadiran Ahok-sosok Juara bukan di event Olimpiade atau kejuaraan dunia. Realitas sejumlah elit itu menjadi contoh kemunafikan yang harus ditonton publik namun tak layak ditiru.
Padahal sejumlah elit itu merupakan orang-orang yang pernah ditempa pengalaman hidup/wawasan ilmu pengetahuan luas, pendidikan tinggi, pengalaman sebagai pejabat tinggi negara. Semula publik mengira semua atribut itu bisa membentuk rasa kebangsaan yang kuat dalam diri mereka, namun ternyata tidak!
Beruntunglah masih banyak orang-orang waras di negeri ini yang tak buta oleh kehebatan para elit politik, hukum, tokoh masyarakat, selebritis dan lain-lain. Sejumlah elit itu jadi 'bukan siapa-siapa' dibandingkan sebagian besar publik yang masih waras.
Ahok memang bukan juara Olimpiade atau juara dunia yang bisa menyatukan seluruh elemen bangsa dalam euforia kemenangan laga akbar. Dia hanya juara 'marah-marah'. Namun terlepas kelak Ahok menang atau kalah dalam laga Pilgub DKI2017, keikutsertaannya pada turnamen demokrasi masyarakat DKI telah jadi kritik kebangsaan kita yang paling bernas, dan jadi pelajaran paling bagus bagi seluruh bangsa dan negara ini kalau mau tetap disebut NKRI.
-----
Pebrianov 31/03/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H