[caption caption="Ilustrasi, sumber gambar ; http://static.republika.co.id"][/caption]Fenomena Ahok merupakan realitas politik kontemporer negeri ini. Sebuah realitas kekinian yang campur aduk di tengah permasalahan politik bangsa dan kerinduan publik untuk menjadi bangsa bermartabat.
Ahok bukan sosok 'pahlawan' yang mulus di mata publik. Dia bukan seperti juara dunia atau Olimpiade yang bisa menyatukan semua pihak dalam satu kebanggaan bersama sebagai sebuah bangsa besar di mata dunia. Sebuah sosok 'pahlawan bangsa' perebut gelar juara yang mampu mengangkat nama negara.
[caption caption="Ilustrasi. Sumber gambar: lh3.googleusercontent.com"]
Olahraga berbeda dengan Politik. Bagi publik, juara dunia atau Olimpiade atau juara PON sekalipun yang telah berjuang bagi negara atau daerahnya dengan segenap hati, raga dan jiwa tak lagi dipandang dengan kacamata SARA: apa warna kulitnya, bentuk matanya, jenis rambutnya, siapa Tuhannya, dan ragam pernak-pernik pribadinya.
Sementara dalam politik, sebaik apapun seseorang tokoh politik/pemimpin bekerja untuk publik tanpa terkecuali, selalu ada kelompok masyarakat yang tak memandangnya sebagai sebuah prestasi. Karena di dalam politik, unsur 'like and dislike' pada sosok politikus/tokoh didasarkan banyak faktor, misalnya ideologi publik-partai yang bercampur dengan isu-isu lain. Kalau perlu keberbedaan pada SARA diangkat. Kenapa demikian? Lalu di mana kebanggaan milik bersama seandainya si tokoh politik/pemimpin telah berbuat banyak (berprestasi) bagi publiknya?
[caption caption="Ahok. Sumber gambar: detik.com"]
Keberadaan Ahok selaku tokoh politik yang menjabat Gubernur yang cemerlang adalah sebuah 'keanehan' bagi sebagian publik di negeri ini.
Kalau Ahok cemerlang jadi pengusaha orang akan menganggap biasa. Seorang Ahok 'dianggap pantas' melakoni dunia usaha.
Kalau dia cemerlang jadi juara Olimpiade atau Juara dunia orang mendukung dan menyambutnya bak 'pahlawan'. Berapa pun hadiah yang dia terima dari sponsor yang menambah pundi kekayaannya, publik tak mempermasalahkannya. Dia wajar menerima semua itu. Tapi begitu dia cemerlang di bidang politik (jadi gubernur ibu kota) maka sebagian publik justru jadi 'aneh'. Mereka 'menolak' seorang Ahok menjadi pemimpin Jakarta (publik). Ahok dianggap 'tidak pantas' menjadi pejabat publik. Padahal, Ahok memberi pelayanan publik yang lebih baik, meningkatkan kualitas lingkungan binaan (permukiman, ruang publik, infrastruktur, dll).
Ahok sebagai pejabat publik yang cemerlang menghasilkan sesuatu yang real bagi publik itu sendiri. Mereka menikmati langsung apa yang dikerjakannya. Wujudnya nyata, bisa disentuh dan digunakan bagi hidup dan masa depan publik. Ahok bukan hanya sekadar memberi rasa bangga dan euforia pesta pora sang juara.
Ahok bekerja bukan untuk menjadi kaya raya, bukan untuk mendapatkan bonus sponsor, bukan untuk mendapatkan nama besar dan jadi legenda. Ahok bekerja untuk negara seperti pejabat-pejabat lainnya yang amanah pada konstitusi dan janji jabatan.
[caption caption="Ahok, dalam pakaian resmi sebagai gubernur. Â Sumber gambar: 2.bp.blogspot.com"]
Terlepas nanti apakah dia menang atau kalah dalam Pilgub DKI 2017, kehadiran Ahok sebagai pejabat publik bagaimanapun harus disyukuri sebagai pembelajaran pembentukan 'kebangsaan' negeri ini.
Sosok Ahok dalam pesta demokrasi masyarakat Jakarta tahun 2017 telah menjadi kritik paling seronok tentang 'kebangsaan' yang selama ini disuarakan. Kritik ini membuka kemunafikan sejumlah elit bangsa, lembaga masyarakat, dan masyarakat luas dalam menjalankan dan memahami makna kebangsaan.
Publik dipertontonkan ungkapan dan manuver 'anti kebangsaan' justru dari sejumlah elit politik, elit hukum, tokoh masyarakat, selebritas yang saban hari terlihat hebat di media dan dikagumi masyarakat luas. Sebuah tontonan anti-kebangsaan yang meruntuhkan kekaguman sekaligus pertanyaan besar publik pada cara memahami kebangsaan itu sendiri.
Tontonan itu mengungkapkan realitas sejumlah elit politik, hukum, tokoh masyarakat dan selebritis publik ternyata jadi 'orang sakit parah' ketika harus menghadapi soal ujian kecil dari kehadiran Ahok-sosok Juara bukan di event Olimpiade atau kejuaraan dunia. Realitas sejumlah elit itu menjadi contoh kemunafikan yang harus ditonton publik namun tak layak ditiru.
Padahal sejumlah elit itu merupakan orang-orang yang pernah ditempa pengalaman hidup/wawasan ilmu pengetahuan luas, pendidikan tinggi, pengalaman sebagai pejabat tinggi negara. Semula publik mengira semua atribut itu bisa membentuk rasa kebangsaan yang kuat dalam diri mereka, namun ternyata tidak!
Beruntunglah masih banyak orang-orang waras di negeri ini yang tak buta oleh kehebatan para elit politik, hukum, tokoh masyarakat, selebritis dan lain-lain. Sejumlah elit itu jadi 'bukan siapa-siapa' dibandingkan sebagian besar publik yang masih waras.
Ahok memang bukan juara Olimpiade atau juara dunia yang bisa menyatukan seluruh elemen bangsa dalam euforia kemenangan laga akbar. Dia hanya juara 'marah-marah'. Namun terlepas kelak Ahok menang atau kalah dalam laga Pilgub DKI2017, keikutsertaannya pada turnamen demokrasi masyarakat DKI telah jadi kritik kebangsaan kita yang paling bernas, dan jadi pelajaran paling bagus bagi seluruh bangsa dan negara ini kalau mau tetap disebut NKRI.
-----
Pebrianov 31/03/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H