[caption caption="sumber gambar ;http://cikalnews.com/static/data/berita/foto/besar/5207007005gaplek.jpg"][/caption]
Belum turun bendera merah putih berkibar. Belum lelah umbul-umbul warna-warni menyemarak lapangan lomba. Dikeramaian ada dua orang bersitegang dikelilingi banyak orang. Tangannya menunjuk-nunjuk, mata melotot, urat leher menegang seperti mau keluar dari kulit. Beberapa orang memegang badannya, menahan agar tak maju.
Kutanya beberapa orang di situ, ternyata si Bapak marah-marah karena dikatai Mental Gaple oleh temannya saat di lapangan.
Aku heran kok harus marah ? Bukankah bapak itu memang pandai main Gaple?
Bukankah Gaple permainan merakyat? Jadi bukan sesuatu yang hina dan asing.
Yang kutahu permainan gaple itu menggunakan kartu domino. Pemainnya empat orang, dibagi 2 pasang pemain. Masing-masing pasang terdiri dua orang. Pemainnya harus jeli, punya strategi dan kompak bila ingin memang.
Melihat cara bermainnya, gaple memuat banyak makna positif. Buktinya, permainan itu diterima banyak orang, dimainkan berbagai kalangan, menghadirkan suasana kekeluargaan, dan bahkan jadi salah satu 'ciri khas' acara 17 Agustusan di banyak tempat. "Kalo 17an ndak ada pertandingan Gaple serasa belum lengkap"
Soal hina-menghina memang bersifat relatif. Tergantung tingkat 'sensi' setiap orang. Jadi di satu sisi, apapun sebutannya bila sudah masuk ke level sensi tertentu memang bisa membuat orang lain marah.
[caption caption="http://dbagus.com/wp-content/uploads/2014/08/Bumbu-tempe-goreng.jpg"]
Kembali ke "mental gaple', saya jadi teringat sebutan 'Mental Tempe' yang sering diucapkan entah serius atau bercanda. Makna yang tersirat ditujukan untuk merendahkan seseorang atau pihak.
Awalnya saya heran, kenapa Tempe menjadi begitu rendah dan dijadikan'alat' menghina, padahal Tempe itu makanan yang rasanya enak, bergizi tinggi dan merakayat. Tapi ada sebagian orang tersinggung dikatakan Mental Tempe.
Usut punya usut, tanya kanan-kiri-atas-bawah kira-kira apa sebab? Ternyata konon karena cara membuat tempe bahannya diinja-injak. Ada yang mengatakan kalau tempe identik dengan makanan orang miskin.
Kalau begitu apakah orang akan senang bila disebut Mental Roti? Padahal adonan roti yang padat dan kenyal itu harus dibanting-banting dan diputer-puter biar merata. Belum lagi ada campuran 'keringat' si pembuat yang tak sengaja masuk ke adonan. Heu heu heu...
Persoalan dibanting, diputer atau diinjak hanyala persoalan pembuatan yang masih konvensional (jaman dulu). Sekarang untuk membuat tempe sudah pakai mesin, begitu juga roti.
Persoalan siapa yang makan tempe atau roti tak lagi terbata status sosial. Presiden saja suka makan tempe. Tanya saja Jokowi, SBY, Soeharto atau Soekarno. Mereka bukan cuma makan tempe tapi juga suka main Gaple di masa muda dulu.
Benda-benda yang memiliki fungsi dan makna positif bagi kehidupan sejatinya juga mampu memberi inspirasi bagi siapa pun di ranah pergaulan. Tempe itu positif, Gaple juga positif. Tak ada alasan untuk jadi marah karena dikatakan Mental Gaple atau mental tempe. Indonesia sudah merdeka 70 tahun, sudah maju. Tak perlu sensi untuk hal-hal yang sepele. Kalau marah-marah terus nanti kapan bisa sempat terbang ke bulan?
Apakah anda yang membaca artikel ini akan marah kalau saya katakan Mental Kompasiana !
Silahkan berikan tanggapan anda. Masing-masing bagi 5 penjawab pertama, "ya saya marah...." akan saya hadiahi Vote di artikelnya. Bagi penjawab "tidak marah" akan saya hadiahi mobil Avanza seri terbaru yang akan saya kirim via inbox Kompasiana.
Silahkan menjawab......
-----
Selamat pagi salam sejahtera untuk saya selamanya.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H