Kini tak lagi kajaiban itu kudapatkan
Terlalu banyak realitas dewasa yang meracuni otakku yang membunuh kebanggaan dahulu. Pada realitas itu terpampang telanjang tabiat bapak-bapak yang berada di podium upacara
Kulihat kantong safarinya penuh uang, sebagian jatuh di lantai, sebagian nongol di bibir kantong secara tak beraturan.
Dibelakangnya ada karung berisi uang
Kulihat ada taring keluar dari bibirnya yang sedang mengucapkan cinta tanah air dan bangsa.
Saat yang bersamaan keluar tanduk menembus kopiah kehormatannya.
Pas di dada yang tersemat tanda jabatan dan kehormatan keluar cairan. Tadinya kukira darah merah pengobanan cinta bangsa, ternyata aku keliru.
Bukan darah merah, tapi nanah berbau busuk. Mengotori baju jabatannya yang gagah.
Kejadian itu berulang kulihat di ragam media, layar kaca, di kertas koran, di dunia cyber, bahkan pernah langsung tertatap mataku.
Kulihat banyak orang orang hilir mudik tak tentu arah saat Bendera Merah Putih naik. Sebagian mereka ngakak terkangkang-kangkang ketika tali kerekan terdendat lama. Ada paku yang tertambat di tali.
Kuyakin mata mereka seolah buta, telinganya tuli, dan hatinya membatu.
Bendera Merah Putih itu tak lagi kuat memaku gerak setiap orang.
Aku berdiri di lapangan itu, tapi sempoyongan. Lensa mataku buram. Tiba-tiba aku malu mengingat masa sekolah dulu. Untuk apa aku memimpin upacara Senin? Untuk apa aku rajin pramuka?