[caption caption="sumber gambar ;http://www.jabarpublisher.com/wp-content/uploads/2015/08/MP.jpg"][/caption]
Apakah ini ada kaitan dengan adigium beda era beda rasa?
Entahlah....
Waktu masih kecil hingga dewasa masa sekolah rasanya Bendera Merah Putih punya kharisma yang besar
Pasti takkan kulupa, waktu itu presiden negeri ini namanya Soeharto
Rasanya kurang ajar bila tak hormat bendera
Rasanya 'berdosa' bila tak hening mendengar lagu yang menyertai kerekannya
Rasanya hebat melihat bapak-bapak pejabat berdiri di podium menjadi inspektur upacara
Aku pernah bangga dengan pakaian Pramuka dari sekolah dasar hingga menengah atas. Rasanya aku orang paling gagah di dunia. Beragam tanda tertempel di bahu dan dada. Kucium bendera dengan mata berkaca-kaca.
Aku pernah bangga jadi komandan upacara di sekolah. Suaraku lantang menggelegar membelah keheningan memberi komando penghormatan
Saat kain membentang, dan kibarannya melambai tertiup angin suaraku tunduk syahdu membangunkan bulu kuduk yang tadinya rebah oleh keringat. Sungguh ajaib !
Kini tak lagi kajaiban itu kudapatkan
Terlalu banyak realitas dewasa yang meracuni otakku yang membunuh kebanggaan dahulu. Pada realitas itu terpampang telanjang tabiat bapak-bapak yang berada di podium upacara
Kulihat kantong safarinya penuh uang, sebagian jatuh di lantai, sebagian nongol di bibir kantong secara tak beraturan.
Dibelakangnya ada karung berisi uang
Kulihat ada taring keluar dari bibirnya yang sedang mengucapkan cinta tanah air dan bangsa.
Saat yang bersamaan keluar tanduk menembus kopiah kehormatannya.
Pas di dada yang tersemat tanda jabatan dan kehormatan keluar cairan. Tadinya kukira darah merah pengobanan cinta bangsa, ternyata aku keliru.
Bukan darah merah, tapi nanah berbau busuk. Mengotori baju jabatannya yang gagah.
Kejadian itu berulang kulihat di ragam media, layar kaca, di kertas koran, di dunia cyber, bahkan pernah langsung tertatap mataku.
Kulihat banyak orang orang hilir mudik tak tentu arah saat Bendera Merah Putih naik. Sebagian mereka ngakak terkangkang-kangkang ketika tali kerekan terdendat lama. Ada paku yang tertambat di tali.
Kuyakin mata mereka seolah buta, telinganya tuli, dan hatinya membatu.
Bendera Merah Putih itu tak lagi kuat memaku gerak setiap orang.
Aku berdiri di lapangan itu, tapi sempoyongan. Lensa mataku buram. Tiba-tiba aku malu mengingat masa sekolah dulu. Untuk apa aku memimpin upacara Senin? Untuk apa aku rajin pramuka?
Samar kulihat, bapak-bapak bersafari itu wajahnya adalah wajahku sendiri lengkap dengan taring, tanduk dan lelehan nanah.
Dasar keparat !
Aku telah ditipu ! Ini pasti bukan era Soeharto sang presinden.
Ternyata benar. Aku terjerembab di era presiden baru yang namanya bahkan sering aku lupa.
Ah, aku tak perlu takut. Bendera Merah Putih itu kini tak sesangar dahulu.
Kupekik.....Merdeka ??
Ah, sutralah....
Â
-------
Warung Kopi, Sanggau17/08/2015
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H