Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balas Budi, Budi Membalas

18 Juli 2015   18:19 Diperbarui: 18 Juli 2015   18:19 2881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ; http://1.bp.blogspot.com/memberi.jpg"][/caption]
Budi adalah anak baik. Sejak kecil hingga dewasa selalu ingat pesan nenek moyangnya. 'Budi, jadilah engkau anak yang pandai membalas budi'.

Sebagai anak baik, kebaikan budi kecil berbeda dengan Budi besar. Kalau Budi kecil baik berdasarkan hati nuraninya yang polos. Sedang Budi besar berdasarkan ukuran orang dewasa yang punya beragam ukuran baik. Tak masalah, yang penting Budi tetap ingat pesan nenek moyangnya untuk selalu membalas budi.

Sejak kecil Budi anak yang berprestasi tinggi kepribadiannya nampak kuat dan menonjol diantara kelompoknya. Maka tak heran dia sering dipercaya teman-temannya untuk menjadi ketua kelompok atau pemimpin. Kondisi itu telah menempa dirinya menjadi sosok lelaki ndableg, kuat dan tahan lama

Selain pintar dia juga cerdas, dan sesekali culas tanpa diketahui. Sebuah modal kuat untuk menjadi Orang di negeri ini. Item culas didapatkannya dari pembelajaran masa dewasa bahwa untuk menjadi orang, pintar saja tidak cukup, cerdas saja tidak lengkap. Realitas pasar masih membutuhkan 'sifat culas' untuk survive, bertumbuh dan sukses di jalur fast track.

Budi telah melihat banyak orang pintar dan cerdas mati muda di lindas ekosistem culas. Ada jeruk makan jeruk, buaya makan bangkai, harimau dimakan anjing, pemain bola gagal cetak gol karena ditakel lawan tanpa hukuman wasit. Banyak lagi. Sifat cerdas budi memeplajari bahwa ada skenario besar yang bermain. Pada sisi ini dia mendapatkan manfaat, kelak bisa juga bermain " Playing the game what the People play".

Bermain di jalur 'Fast Track'

Budi sadar, umur punya batas. Tapi karier bisa tak terbatas. Maka untuk bisa sukses haruslah di usia muda, agar nikmat sukses bisa lama dikulum, dijilat, dikunyah, dan dilahap. Didalamnya ada pujian dan kemuliaan dari lingkungannya. Untuk itu Budi harus segera masuk ke jalur fast track !

Bekal pengetahuan-wawasan, pengalaman, kepintaran dan kecerdasan menjadi modal utama. Untuk keculasan diubah nomenklaturnya menjadi 'strategi' agar tampak lebih elok dan intelek.

Cara klasik pun diterapkan secara halus. Membuka diri masuk ke jaringan elit dan kuat agar juga bisa menjadi tambah kuat. Karena paham 'jeruk makan jeruk, maka jadilah dimakannya jeruk dilevel bawahnya agar dia eksis saat dimakan jeruk di level atas. Toh kelak juga akan jadi orang level atas. Akan ada waktunya membalas. Yang penting sekarang menunjukkan diri sebagai jeruk unggul !

Tak kan lari jeruk dikejar. Jeruk jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah tembang nuraninya yang telah bertransformasi sempurna.

Prestasi fenomenal Budi pun mulai tercipta. Tak lagi terhitung. Tak lagi terbendung. Kilaunya bisa mengalahkan kontroversi yang menyertai fenomenalnya karena dukungan elit jaringan kuat tadi.

Sebagai pemaham Jeruk makan jeruk, Budi dedikasikan dirinya sebagai jeruknya secara total !

[caption caption="sumber gambar ;http://3.bp.blogspot.com/s1600/pembalasan.bmp"]

[/caption]

Balas budi berbau amis

Ketika suatu ketika kontroversi menerpa kegemilangannya sehingga hampir tersungkur , Budi melawan! Percuma jadi orang pintar, cerdas, penuh pengalaman dan pandai berculas kalau hanya pasrah di lindas kebenaran. Baginya tak ada kebenaran sejati. Dirinya adalah kebenaran juga. Hhuh ! Awaas , kau !

Maka digerakkannya jejaring elit nan kuat tadi ! Gubraaak ! Hancurlah si Kontoversi pengganggu kemuliaannya itu.

Namanya Budi bukan sembarang Budi. Dia paham Balas budi. Seperti yang diajarkan nenek moyang dulu. Maka ketika si pengganggu berhasil dia singkirkan, tibalah waktunya menerapkan pesan sang Nenek untuk "Membalas Budi".

Tentunya 'membalas budi' itu dengan cara yang sesaui kondisi pasar, sebuah realitas yang tak sama dengan jaman Nenek dulu. Ah, itu gampanglah....bukankah otak harus dipakai? Pengalaman harus dikembangkan, jangan pakai nurani ! Karena itu hanya penghambat kecepatan bertindak!

Budi membalas budi dengan caranya. Semua terlaksana dengan sempurna. Budi puas. Kemuliaan diri terjaga, pesan nenek 'terlaksana'.

Ketika suatu ketika Budi besar bertemu sang nenek, dengan bangganya dia bercerita. Nenek pun bangga. Tapi kemudian nenek tergagap, kejang-kejang dan sempoyongan.

Budi bingung. Segera ditangkapkanya tubuh sang Nenek kemudian dibaringkannya.

Ketika ditanya kenapa, Nenek lirih berkata ; "Budi, aku mencium bau amis di tubuhmu dan aku melihat tanduk tajam di kepalamu bersamaan cerita keberhasilanmu Membalas Budi. Kamu telah salah menterjemahkan cara berbalas budi."

Akan banyak banyak kelak Budi-Budi yang lain muncul dan melakukannya kepadamu. Jeruk makan jeruk tak pernah berhenti. Karena kamu telah menjadi jeruk bagi jeruk yang lain.

Nenek itu pun menutup matanya. Sementara Budi besar telah kehilangan airmatanya. Itu sudah sejak lama tanpa pernah dia tahu kapan terjadi.

 

Salam pemberdayaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun