Akhirnya MK memutuskan bahwa 'dinasti politik' tidak dilarang. Kali ini keputusan MK mengandung potensi penolakan dari masyarakat karena seolah-olah melegalkan terjadinya 'Korupsi' yang dilakukan sebuah keluarga.
Selama ini masyarakat banyak menyaksikan para pemimpin publik atau politik yang seolah membangun dinasti politik keluarga. Mereka berbagi jabatan-jabatan publik dan strategis dalam satu wilayah dalam era yang sama. Sebuah keluarga besar, misalnya sang Ayah jadi Bupati, anak jadi ketua DPRD, sepupu jadi anggota DPRD, menantu jadi Kepala Dinas, Besan jadi Ketua Partai. Kesan yang muncul seolah mereka menjadi raja di wilayah tersebut. Orang lain di luar lingkaran keluarga tersebut seolah tidak dapat jatah jabatan.
Bila sebuah keluarga menduduki banyak jabatan politis di suatu pemerintahan dikuatirkan terjadi korupsi oleh keluarga tersebut. Mereka punya kekuasaan dan relasi antar pribadi yang bisa memunculkan persekongkolan 'menjebol' uang negara dengan berbagai modus halus secara masif dan sistematis sesuai jabatan masing-masing anggota keluarga tersebut. Mereka bisa saling mendukung dan melindungi.
Kekuatiran masyarakat itu beralasan dan dapat dimaklumi. Stigma 'dinasti politik' dan 'politik dinasti' membentuk preseden buruk terhadap berjalannya pembangunan di wilayah tersebut.
Cara Pikir Masyarakat yang Sakit
Selalu berpikiran curiga (negatif) apapun yang melatarbelakanginya tentu tidak sehat. Apalagi bila pikiran itu dilakukan secara massal oleh masyarakat dalam suatu wilayah. Pikiran negatif berasal dari pemeliharaan energi negatif, hasilnya adalah cara pandang negatif dan bahkan tindakan-tindakan yang negatif pula. Kalau sudah begini, maka masyarakat itu adalah masyarakat yang sakit.
Padahal kalau pikiran negatif itu dibalik menjadi positif, misalnya bahwa pendidikan keluaraga tersebut berhasil ! Banyak anggota keluarganya menjadi orang-orang unggul, mampu, dan diterima publik. Bukankah hal ini justru menjadi contoh yang baik? Atau sumber inspirasi membentuk keluarga unggul.
Sikap yang Fair
Jabatan politik memiliki syarat dan kriteria yang tidak ringan. Bukan sebuah jabatan yang 'seenaknya' bisa dimainkan tanpa aturan main. Publik bisa melihat semua itu sekaligus mengawasinya.
Dalam sistem demokrasi yang sehat setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin sesuai kemampuannya. Hak tersebut 'melampaui' batas status keluarga, artinya ; status salah satu anggota keluarga yang jadi pejabat publik tidak bisa menghalangi anggota keluarganya untuk terlibat dalam demokrasi. Idealnya demokrasi menempatkan setiap orang sebagai personal yang independen dan unik.
Jangan sampai sebuah jabatan publik salah satu anggota keluarga menjadi kutukan bagi anggota keluarganya. Hal ini sunggugh tidak adil. Hak mereka dipancung oleh opini, stigma, dan rasa curiga masyarakat. Padahal bisa jadi mereka adalah orang-orang unggul hasil pendidikan keluarga yang baik.
Tugas masyarakat bukan menghalangi hak keluarga unggul untuk berdemokrasi dan menjadi pemimpin. Masyarakat harusnya fair mempersilahkan hak itu digunakan seperti yang juga mereka dapatkan. Selanjutkan tugas masyarakat adalah mengawasi dan melaporkan ke lembaga berwenang bila ada kejanggalan atau pelanggaran aturan-hukum.
Kalau beberapa anggota suatu keluarga (dinasti) tidak dilarang menduduki jabatan publik di suatu wilayah, maka mereka pun 'sebenarnya' tidak dilarang untuk masuk penjara bila menyelewengkan kepercayaan publik. Fair bukan?
Sekian
Sumber berita ;
Satu ; Dua ; Tiga
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H