[caption id="attachment_329914" align="aligncenter" width="620" caption="gambar http://statik.tempo.co/?id=276253&width=620"][/caption]
Ragam berita penutupan Dolly bikin perasaan campur aduk; salut untuk Bu Risma, kasihan pada warga, dan was-was terhadap solusi yang bakal diterapkan. Namun saya tak terlalu peduli adanya kekuatiran lendir-lendir akan muncrat ke lain tempat di Surabaya. Toh selama ini, selain di Dolly sudah ada bisnis lendir yang terkemas rapi dan tak kalah menggugah hasrat dan selera kelelakian.
Salut untuk Bu Risma tak perlu diragukan lagi. Sebagai pemimpin kota sekaligus pejabat negara, beliau berani menentang arus untuk sesuatu yang mulia, yang sejak dulu tak mampu dilakukan oleh pejabat setingkat menteri sekalipun.
[caption id="attachment_329916" align="aligncenter" width="620" caption="gambar http://statik.tempo.co/?id=292972&width=620"]
Kasihan, ternyata argumentasi penolakan lebih didominasi efek ketergantungan ekonomi masyarakat setempat yang lama mengalami salah asuh dan sesat pikir di balik sayup-sayup eksotisnya desahan Dolly dan hingar-bingar derit goyangan pelaku utama usaha bisnis lendir tersebut.
Solusi was-was, sampai kini belum didapatkan si was-was itu dalam bentuk wacana eksplisit. Dan saya berharap tidak menjadi kenyataan. Namun yang namanya was-was merupakan sesuatu yang berjalan bersama waktu. Bisa muncul tiba-tiba di kepanikan atau diselipkan tanpa diumbar ke permukaan.
[caption id="attachment_329915" align="aligncenter" width="597" caption="gambar http://media.viva.co.id/thumbs2/2013/11/10/228899_hari-pahlawan_663_382.jpg"]
Solusi was-was itu adalah mentransmigrasikan para ex-Dolly dengan dalih sesuai undang-undang atau apa pun yang indah-indah didengar adalah solusi celaka12. Seperti hukuman tendangan pinalti 12 pas, tingkat keberhasilan celakanya bisa 90-an persen ke atas. Mereka belum tentu cocok dengan lingkungan baru baik budaya kerja agraris serta sosial budaya masyarakat setempat sehingga mengakibatkan terbengkalainya lahan yang dibuat, atau justru membawa dan menciptakan profesi lama dan kebiasaan-kebiasaan hidup terdahulu di wilayah yang baru. Ini bisa membuat celaka12 lingkungan masyarakat lokal.
Trauma Lama Daerah Tujuan Transmigrasi
Sudah menjadi ‘kebiasaan’ (sejak jaman orde baru), bila ada penggusuran atau petaka (kebakaran daerah kumuh, bencana alam,dan lain-lain) di Pulau Jawa, ujung-ujungnya para ‘korban’ dijadikan transmigrasi. Hal ini tak lebih sebuah pendistribusian masalah atau upaya lempar masalah ke wilayah lain khususnya di Pulau Kalimantan dan Sulawesi yang jadi tempat transmigrasi. Dan bukan justru jadi bagian dari upaya pemerataan pembangunan seperti yang didengungkan.
Pada masa lalu, pemerintah daerah di Pulau Jawa menggandeng pemerintah pusat dengan enteng melaksanakan transmigrasi ketika melakukan ‘pembangunan’ terjadi konflik dengan masyarakatnya dan kemudian tidak mampu mencari solusi setempat.
[caption id="attachment_329917" align="aligncenter" width="566" caption="gambar http://jambidaily.com/v3/images/17713trans-ilustrasi.jpg"]
Sudah bukan aneh lagi bila kaum marjinal perkotaan, kaum penyakit sosial yang tak jelas penghidupannya: gelandangan, pengangguran, korban gusuran, dan lain sebagainya kemudian ditransmigrasikan setelah lewat “pembekalan’ yang cukup untuk hidup di tempat yang baru. Namun yang terjadi adalah mereka kembali lagi ke habitat asal dengan menelantarkan lahan dan rumah atau menjual semua yang telah disediakan pemerintah.
Menilik idealismenya, Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi. Program ini sejatinya berasaskan kepeloporan; kesukarelaan; kemandirian; kekeluargaan; keterpaduan; dan wawasan lingkungan. (lihat undang-undang ketransmigrasian ; ini dan itu)
Kritik yang sering muncul adalah transmigrasi menyebabkan termarjinalnya masyarakat setempat dan menyingkirkan populasi lokal. Seringkali timbul perselisihan, sengketa dan percekcoan antara para transmigrasi sebagai pendatang dengan penduduk asli setempat.
[caption id="attachment_329918" align="aligncenter" width="600" caption="gambar http://shnews.co/foto_berita/76transmigran-perumahan.jpg"]
Tulisan ini tidak bermaksud anti program transmigrasi, dan bukan pula sikap sinisme terhadap ex-Dolly. Melainkan sebuah kekuatiran dan kehati-hatian adanya solusi mendadak dan main gampangnya saja ketika pemerintah tak mampu memberi solusi jitu penutupan Dolly di Surabaya.
Maaf bila tulisan ini dipandang sebagai sesuatu yang tendensius, tidak nasionalis, tidak dewasa dan rasional, tidak sesuai mimpi besar republik, tidak visioner, dan mungkin saja tidak waras atau sesat pikir. Silahkan saja beri komentar untuk mendapatkan sistem solusi aplikatif milik bersama.
Mari membagi pemikiran di sini. Salam Damai di Bumi Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H