Sudah bukan aneh lagi bila kaum marjinal perkotaan, kaum penyakit sosial yang tak jelas penghidupannya: gelandangan, pengangguran, korban gusuran, dan lain sebagainya kemudian ditransmigrasikan setelah lewat “pembekalan’ yang cukup untuk hidup di tempat yang baru. Namun yang terjadi adalah mereka kembali lagi ke habitat asal dengan menelantarkan lahan dan rumah atau menjual semua yang telah disediakan pemerintah.
Menilik idealismenya, Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi. Program ini sejatinya berasaskan kepeloporan; kesukarelaan; kemandirian; kekeluargaan; keterpaduan; dan wawasan lingkungan. (lihat undang-undang ketransmigrasian ; ini dan itu)
Kritik yang sering muncul adalah transmigrasi menyebabkan termarjinalnya masyarakat setempat dan menyingkirkan populasi lokal. Seringkali timbul perselisihan, sengketa dan percekcoan antara para transmigrasi sebagai pendatang dengan penduduk asli setempat.
[caption id="attachment_329918" align="aligncenter" width="600" caption="gambar http://shnews.co/foto_berita/76transmigran-perumahan.jpg"]
Tulisan ini tidak bermaksud anti program transmigrasi, dan bukan pula sikap sinisme terhadap ex-Dolly. Melainkan sebuah kekuatiran dan kehati-hatian adanya solusi mendadak dan main gampangnya saja ketika pemerintah tak mampu memberi solusi jitu penutupan Dolly di Surabaya.
Maaf bila tulisan ini dipandang sebagai sesuatu yang tendensius, tidak nasionalis, tidak dewasa dan rasional, tidak sesuai mimpi besar republik, tidak visioner, dan mungkin saja tidak waras atau sesat pikir. Silahkan saja beri komentar untuk mendapatkan sistem solusi aplikatif milik bersama.
Mari membagi pemikiran di sini. Salam Damai di Bumi Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H