Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sudah Nasib Tertohok Artikel Nararya

6 Januari 2015   02:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:44 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_363264" align="aligncenter" width="1110" caption="gambar : http://3.bp.blogspot.com/-fpdKT5y6vgs/UFwpDhDOcCI/AAAAAAAAB1A/IcGcQ7Y4u04/s1600/penulis%2Bpena%2Bhitam.jpg"][/caption]


Dasar nasib apes. Mungkin sudah waktunya turun dari batang dan daun sebelum jadi tupai akhirnya jatuh tertimpa buah. Itulah yang saya alami saat merenungkan gaya penulisan saya yang remang-remang, lembab dan sedikit berlendir ini.


Tulisan teman saya yaitu Nararya, Kompasianer handal yang saya kagumi dengan teknik penulisan runtut, penuh pemikiran dan kehati-hatian namun tetap mampu memberi pesan yang jelas bagi para pembaca. Tulisannya tersebut telah menohok sisi kebengalan saya menulis di Kompasiana.


Terlebih dahulu secara jujur saya apresiasi terhadap Nararya dengan tulisannya itu. Isinya sangat bermanfaat untuk membangun marwah tulisan yang berbobot dan penulis yang beretika di Kompasiana.


Dia menyampaikan tulisan kritik dengan bahasa yang jelas dari kompleksitas teori menulis yang seringkali bikin kepala berkedut-kedut nyeri-nyeri sedap. Saya sampai harus dua kali memamah biak isinya agar bisa dicerna secara utuh karena lambung pikiran saya yang lemah dan serba terbatas hanya suka menerima benda-benda lembut saja. Ini alasan bijak saya. Tapi menurut teori Konspirasi, cara mamahembiak saya itu hanyalah arogansi diri unjuk kekuatan rahang dan gigi doyan berlama-lama mengunyah disertai berlimpahnya persediaan lendir mulut saya.


Kembali ke laptop. Tulisan seorang Nararya selalu saya tunggu-tunggu karena saya mau mencuri apa yang dia punya dan hidangkan. Kenapa harus mencuri sementara dia sudah baik-baik menghidangkannya? Ya, karena saya bengal dan sedikit keparat. Ada nikmat diri bisa melakukannya. Heuheuheu...

[caption id="attachment_363265" align="aligncenter" width="540" caption="gambar : http://3.bp.blogspot.com/-UQ3nRlZ8jm0/T_Q-vVlcKXI/AAAAAAAAEa8/3IFPesa7hCQ/s1600/penulis-hantu-di-sepanjang-zaman.jpg"]

14204479891574480401
14204479891574480401
[/caption]


Akibat tulisannya itu, saat mencuri saya tertohok tepat di rahang pengunyah aksara. Dasar pencuri, saya ingin selalu bekerja cepat dan cenderung terburu-buru. Terlebih Genre tulisan saya cenderung Satire, kata orang saya tukang sindir dan olok-olok. Maka lengkaplah tohok-an artikel Nararya pada Saya.


Marahkah Saya? Tidak. Lah wong saya tukang satire ya ndak mau tiba-tiba berubah jadi tukang marah atau tukang merajuk. Gengsi dong kalau harus ganti profesi hanya karena ditohok ! Saya mesti bersikap profesional, dong. Heu..heu..heu..


Saya justru senang karena tohok-an itu mencerahkan dan saya dapat masukan untuk meningkatkan profesionalitas dalam menulis Satire. Dengan kualitas Satire yang mumpuni saya ingin memberi kontribusi pada warna-warni kepenulisan di Kompasiana. Betul? Kalau toh saya dianggap orang jahat, setidaknya adalah orang jahat yang baik !

Ada beberapa hal kenapa saya menulis tanpa etika dengan tidak mencantumkan rujukan, bahkan seringkali mengabaikan sumber tulisan sesama Kompasianer.


Pertama, saya penulis pencuri yang maunya bekerja cepat dan tak mau repot-repot. Issue yang didapatkan dari beragam sumber bacaan, baik media mainstream maupun artikel di Kompasiana kemudian menjadi kentalan ide menulis yang menggumpal ingin ditumpahkan dengan lain perspektif.


Pada saat ide itu mengental dan menggumpal, libido menulis jadi sangat tinggi, serba ingin cepat mendaki dan melumat diksi. Kondisi itu seringkali membuat lupa daratan rujukan. Entah dimana kemarin di dapatkan pokoknya menuntaskan tulisan sampai lemes. Setelah itu ingin cepat-cepat published agar lega dan bisa kembali berakfitas lain yang normal tak kalah penting. Simpel, kan?


Kedua, Saya menganggap setiap orang yang membaca Kompasiana tentu sudah tahu issue aktual dan sedang hot terutama yang berasal dari mainstream media. Bila berani membaca opini Kompasianer berarti pembaca sudah memiliki reportase dari mainstream media. Disisi lain artikel Kompasiana merupakan 'the second anu' dari issue-issue aktual yang diberitakan mainstream media tersebut.

[caption id="attachment_363268" align="aligncenter" width="234" caption="gambar : http://www.google.com/search?q=penulis&tbm=isch&ei=2UuqVMGABo-XuASVvoLoCQ&start=80&sa=N#i=3 "]

1420448207491405006
1420448207491405006
[/caption]


Bila artikel yang ditulis berhubungan dengan artikel Kompasianer lain, sejatinya pembaca mencari sendiri berdasarkan 'klue' yang didapat dari artikel yang dia baca. Mesti usaha, dong....jangan mau enaknya sendiri. Harus rajin, jangan pemalas dan egois seperti Saya yang hanya memikirkan eksistensi tulisan sendiri. Heu...heu..heu..!


Menurut alasan saya yang dibuat-buat, pembaca harus aktif dan berani grepe-grepe ragam kanal Kompasiana mencari link terkait. Dengan begitu, akan lebih mengenal Kompasiana lebih dalam..:heu heu heu!


Ketiga, adanya peran Admin yang cukup permisif. Tanpa nge-link rujukan sumber pun tulisan saya bisa terpublish dengan tenang dan damai. Jadi kenapa harus kerja ekstra yang tak juga diperhatikan serius oleh admin K. Banyak kok tulisan paket cepat dan murah tanpa rujukan yang dikunjungi banyak pembaca serta masuk TA, HL, HI dan dan ter...ter lainnya. Admin K tak mempermasalahkan sumber asli karena 'Tau Sama Tau' issue hot itu milik bersama.


Secara ilmu ekonomi, saya telah melakukan tindakan menulis secara efesien dan efektif dengan profit vote yang banyak, bersama status Ter...tadi. Bukankah saya hebat? Heu..heu..!

Secara politis, saya telah menjadi politikus tulisan yang cerdik, licin dan licik untuk meraih tujuan. Tentu ini bisa jadi panutan dan membanggakan kaum pragmatis, bukan?

Secara olahraga, saya telah bermain taktis. Tentu ini prestasi, bukan?


Keempat, kelima dan seterusnya anda bisa cari sendiri di dalam hati masing-masing.


Tulisan bernas Nararya telah sukses menohok saya tanpa dia sadari dan rencanakan. Tentu saja sebagai orang yang berbudaya adiluhung, dan terbiasa berpikiran aneh maka dengan kebengalan ini saya terkesiap untuk tetap menyayangi Nararya sekaligus mencintai Kompasiana tanpa syarat, tanpa uang muka, tanpa kartu KK, tidak pakai sambel, dan tidak pakai saos. Cukup kepercayaan bahwa saya dan Naraya saling memahami.

[caption id="attachment_363282" align="aligncenter" width="217" caption=""]

1420453282706019067
1420453282706019067
[/caption]


Artikel ini bukan ingin menciptakan drama seri polemik horizontal dengan Nararya di panggung Kompasiana. Sama sekali tidak. Apalagi sama dua kali dan sama tiga kali. Terlalu mahal bila itu terjadi. Seperti kata pepatah jaman batu 'Banyak jalan menuju Roma'. Jadi kenapa pula harus ke Meggy Z? Bisa sakit gigi tak berkesudahan, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun