Suatu pagi Saya berangkat menuju seminar akbar, tapi karena terburu-buru Saya lupa pasang savebelt.
Sialnya, di sudut jalan Saya disemprit Polantas dan dibawa ke post terdekat. Bertele-tele sang Polantas bicara soal pasal dan prosedur, temasuk sidang denda. Sementara waktu berjalan mengejar jadwal seminar. Masak saya harus terlambat! Apa kata dunia?
Polantas itu tak mengenal siapa Saya, karena hidupnya sepanjang hari di jalanan menghirup asap polutan kendaraan dengan tabah.
Karena sudah jadi hukum jalanan, Polantas itu menawarkan damai biar cepat selesai. Nampaknya dia paham Saya orang sibuk. Maka, kerjasama bilateral Saya dan Polisi itu pun terjadi dengan bahagia penuh riang gembira bersama. Si Polisi dapat tambahan buat beli susu anaknya, saya pun terhindar dari malu besar terlambat seminar akbar.
Suatu ketika keponakan Saya berurusan dengan hukum karena tak sengaja menabrak tukang bakso keliling sampai meninggal di tempat.
Kehidupan bangsa ini menganut nilai gotong royong, tolong menolong dan musyawarah. Percuma jadi orang hebat kalau tak menjiwainya. Percuma jadi petinggi kalau tak menolong keluarga sendiri.Bisa-bisa dianggap durhaka, dan dikutuk jadi batu bacan, eh..batu krikil.
Percuma jadi orang pinter kalau tak pandai 'memusyawarahkan' ini dengan aparat hukum. Toh 'nabraknya kan ndak sengaja'.
Alhasil dengan pengaruh yang kuat dari sisi politis, finasiil, kemampuan membangun opini, kepintaran dan relasi yang luas maka keponakan Saya bebas dari jerat hukum. Tentunya setelah Saya menolong mengisi rekening aparat hukum sesuai deal musyawarah-mufakat.
Soal si Korban yang tewas itu soal gampang, cukup Saya datangi minta maaf dan kasi segepok duit beserta sedikit intimidasi. Indah dan mudahnya hidup di negeri ini, bukan?
"Lalu, dimana sulitnya jadi orang pintar di negeri ini, pak?"
Enak saja ! Saya memang pintar, tapi tidak pernah mengatakan demikian.
"Tapi kan pak...ada bukti tulisannya di media Kompasiana ini !"