Senja, bukan akhir untuk berpisah,
hanya pertanda bahwa esok akan tiba,
dan kita kembali bercerita
Senja, bukan akhir untuk berpisah, hanya pertanda bahwa esok akan tiba, dan kita kembali bercerita. Kutipan itu kamu gunakan untuk membuka paragraf baru, seolah hendak melanjutkan ceritaku yang belum selesai. Aku kembali membuka email darimu dan membacanya ulang. Duduk di kursi kerjaku menghadap ke jendela barat sambil menikmati tenangnya cahaya jingga sore ini, ditemani dengan secangkir kopi.
Lima puluh halaman yang kamu tulis seolah membuka alur ceritaku kembali yang sebenarnya hendak aku selesaikan dengan satu paragraf pamungkas. Tapi, kamu menambahkan cerita lain, mengajak pembaca terbang kembali menikmati cerita manis seperti di awal ceritaku. Dan aku tidak suka. Aku hanya ingin menyelesaikannya.
"Bip" bunyi itu terdengar lagi. Kubuka kotak masuk emailku. Dari kamu, Aksara.
Sekar,
bagaimana dengan lanjutan ceritamu yang aku tulis? apa kamu menyukainya? aku tidak yakin kamu akan menyukainya.
maafkan aku, Sekar. aku tidak bermaksud lancang untuk melanjutkan cerita itu tanpa persetujuanmu, tapi aku ingin cerita itu berakhir indah, seperti seharusnya.
"Berakhir indah apanya. Aku yang berhak memutuskannya" Aku menggerutu. Enak saja. Lalu kulanjutkan lagi membaca paragraf keduanya.
aku ingin kembali bersamamu, Sekar, kembali untuk melanjutkan cerita hidupku bersamamu yang belum selesai. oke, kamu pasti berfikir aku ini egois, setelah apa yang aku lakukan kepadamu aku dengan entengnya memintamu kembali bersamaku. maaf, aku benar-benar menyesal. aku berharap kamu bisa memaafkan aku.