Tanggal 14 September 2020 Provinsi DKI Jakarta akan kembali menerapkan PSBB total. Hal tersebut dilakukan karena peningkatan yang cukup signifikan jumlah penderita Covid-19 di ibukota.Â
Secara nasional jumlah penderita covid-19 di Indonesia membukukan rekor tertinggi 3.861 kasus positif pada hari Kamis, sementara ibu kota telah mencatat rata-rata lebih dari 1.000 kasus virus korona baru pada minggu ini, hal ini menambah masalah bagi rumah sakit di Jakarta.Â
Dan menurut sumber Pemprov DKI Jakarta, tingkat okupansi ruang isolasi di 67 rumah sakit rujukan virus corona saat ini mencapai 77%, sedangkan okupansi ICU 83%. Dan di RS.Â
Baca juga : Polemik Covid-19, dari Transparansi Data, PSBB, sampai Vaksinasi
Persahabatan sebagai rumah sakit rujukan utama pasien Covid-19, jumlah pasien yang dirawat karena dugaan kasus COVID-19, penyakit saluran pernafasan akibat virus corona, meningkat hingga tiga kali lipat dari bulan Juli hingga Agustus 2020.Â
Dari sebab hal-hal tersebut, maka Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada hari Rabu, telah mengambil tindakan dengan memberlakukan kembali PSBB ( Pembatasaan Sosial Berskala Besar) total mulai 14 September, seperti di awal terjadinya pandemi, seluruh warga ibukota diharapkan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah.
Hal ini jelas dimaksudkan agar program prioritas penanganan pandemi segera dapat dilaksanakan dengan cepat, sehingga laju pandemi dapat dikendalikan dan segera diselesaikan.Â
Namun hal ini jelas tidak mudah, karena dampak yang timbul dari pemberlakuan PSBB total tentu tidak sedikit. Akankah "rem darurat" PSBB total dapat menjawab tantangan tersebut?Â
Layak kita tunggu hasilnya. Namun pemberlakuan PSBB total kali ini, sudah selayaknya Pemprov DKI Jakarta belajar dari PSBB yang telah dilakukan terdahulu, yang mana banyak menimbulkan akibat terutama di bidang ekonomi.Â
Berapa banyak usaha yang gulung tikar, berapa banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, berapa banyak pegawai yang kehilangan pendapatan, dan pada ujungnya menimbulkan masalah baru atau efek domino dari PSBB.Â
Baca juga : PSBB : BERSKALA BESAR/BASA-BASI? (KONSISTENKAH?)
Kesehatan memang di atas segalanya, namun begitu banyak efek yang ditimbulkan dari PSBB juga layak diperhatikan agar tidak menjadi sebuah "pandemi" baru.
Berkaca dari PSBB yang sudah dilalui, dan "tidak sesuai rencana" (terbukti pandemi belum juga bisa dikendalikan). Pengawasan PSBB saat itu hanya gencar di saat permulaan. Petugas gabungan Satpol PP dan POLRI siaga di jalan-jalan, di perbatasan wilayah provinsi, dan wilayah vital lainnya. Namun setelah beberapa hari, mulai terlihat lentur, lelah, dan mungkin jenuh.Â
Sehingga banyak yang menjalankan tugas hanya ''formalitas" saja. Hal ini juga terlihat di bidang pelayanan publik, saat awal sangat ketat dalam hal pemberlakuan protokol kesehatan, namun setelah beberapa lama seperti kembali ke semula (apalagi pada saat PSBB transisi, banyak yang mengira ini sudah normal).Â
Hal ini bisa dipengaruhi beberapa faktor, selain lelah, letih, jenuh dan tingkat tekanan stress yang tinggi saat pandemi. Bagaimana tidak stress, banyak petugas baik di lapangan maupun di pelayanan publik, selain berjibaku dengan kerja saat pandemi, mereka juga harus memutar otak, karena penghasilannya (tunjangan) dipotong 50 % oleh Pemprov DKI Jakarta karena digunakan untuk penanganan Covid-19.Â
Ada curhatan dari teman seorang ASN guru yang penghasilannya malah minus selama pandemi ini. Kok bisa minus? Ternyata dia memiliki pinjaman di Bank DKI yang cukup besar untuk membeli rumah sebagai tempat tinggalnya.Â
Sebelum keadaan pandemi, dia masih memiliki kelebihan sedikit dari gaji dan tunjangannnya sebagai seorang ASN guru di Jakarta. Namun dengan adanya pemotongan tunjangan, maka otomatis berkurang pula pendapatannya.Â
Baca juga : Pengaruh Covid-19 pada Pendapatan Keluarga dan Dampaknya terhadap Pembelajaran
Hal ini jelas menambah beban hidup dan permasalahan baru baginya. Jika itu contoh yang memiliki penghasilan tetap, apalagi yang tidak memiliki penghasilan tetap, seperti pekerja harian misalnya, tentu masalahnya lebih kompleks lagi. Walaupun dana Bansos dari Pemprov DKI Jakarta, hal ini belum bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh.Â
Dan ini yang menjadi PR bagi pemerintah pusat/daerah, kita tunggu apakah PR itu akan segera diselesaikan atau malah tidak dikerjakan. Kita semua berharap Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang baru, melakukan pengawasan yang baik terhadap semua kebijakannya, sehingga tujuan akhir dari aturan/kebijakan tersebut dapat tercapai.Â
Selain itu kita juga berharap pelayanan publik yang seharusnya berubah mengikuti keadaan tanpa harus menurunkan kualitas pelayanannya, juga layak ditunggu (saat ini belum berubah). Karena jika pelayanan publik bermasalah dikarenakan pemberlakuan PSBB, tentu saja ini akan semakin memperburuk keadaan.Â
Contoh saya mengurus berkas risalah di BPN Jakarta Timur, sudah 2 bulan berkas tersebut belum juga selesai, dan petugas menyampaikan bahwa hal tersebut terkendala faktor pegawai yang WFH, padahal di layanan terpampang standarnya hanya beberapa hari.
Dari segi pelayanan kesehatan, banyaknya tenaga kesehatan yang telah gugur dan dengan semakin banyaknya pasien covid-19, tentu saja semakin memperparah layanan kesehatan yang ada.Â
Energi seolah hanya tertuju pada penanganan pandemi saja, sehingga terkadang pelayanan untuk pasien , dengan penyakit lain juga terkendala.Â
Semakin sulit pada saat ini pasien sakit (selain covid-19) yang terlayani dengan baik, banyak pasien yang harus berkeliling sendiri mencari layanan kesehatan yang mau menerima mereka (penulis mengalami sendiri).Â
Atau sudah terlayani pun, harus melalui proses yang lama, karena pandemi ( harus periksa/test PCR dulu misalnya). Tak heran pula, sudah banyak tenaga kesehatan yang telah lelah baik secara fisik maupun psikis (sering terdengar curhat para tenaga kesehatan di media sosial). Mereka mengaku lelah, sedih, khawatir dan takut terkadang bercampur menjadi satu. Kapan ini kan berakhir, kata mereka.Â
Walaupun banyak bantuan, banyak dukungan untuk mereka, tetap saja sebagai seorang manusia, mereka ada batasnya. Saat ini bagi para tenaga kesehatan terkadang musuh yang dilawan bukan masalah pandemi saja, namun juga masyarakat yang belum mengerti akan arti keadaan sekarang, mereka banyak yang "memusuhi" tenaga kesehatan dengan dalih takut tertular, sehingga banyak tenaga kesehatan yang harus terusir / terisolasi dari lingkungannya.Â
Ada dari mereka yang diusir dari tempat kostnya, harus pindah rumah karena dimusuhi tetangganya, atau ada pula yang keluarganya dikucilkan. Dan banyak pendapat di media sosial yang menyudutkan tenaga kesehatan.Â
Kita semua paham, hal yang demikian itu adalah sesuatu yang salah. Kita semua berharap para pahlawan kesehatan ini dapat terus melawan itu semua, melawan keterbatasan yang ada, melawan rasa lelah, sedih, khawatir serta takut yang sering melanda.
Bagi kita yang di rumah, sudah selayaknya kita harus saling mendukung, saling menguatkan, saling bekerja sama untuk mengupayakan agar pandemi ini segera dapat diatasi.Â
Lakukan apa yang kita mampu, lakukan apa yang telah diatur, lakukan perubahan dalam segala hal, karena waktu dan jaman telah merubah keadaan, kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan, atau kita akan menjadi korban dari keadaan yang ada sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H