Mohon tunggu...
Putra Niron
Putra Niron Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat di AMI Malaka dan SASOKA; Owner Kedai NN15

Penikmat Puisi, Penulis Kumpulan Puisi Penyair Bukan Kami; Kami dan Perjamuan Terakhir; dan Mata Cermin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gusti

13 Maret 2023   20:44 Diperbarui: 13 Maret 2023   21:09 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini, dengan tiga helai karung beras cap Nona Kupang berukuran 10 kilogram dan beberapa ember campuran, istilah para tukang bangunan di daerah kami, saya dan Om Gusti mulai memindahkan satu tumpuk pasir sertu (istilah yang sering digunakan di kampung saya untuk menamakan pasir dengan campuran batu yang lebih banyak) dari depan halaman depan rumah ke belakang rumah yang jaraknya kurang lebih 100 meter. Jika boleh jujur ini memang berat bagi saya yang baru mau kerja seperti ini. 

Mengapa saya katakan berat? karena saya hanya terbiasa mengerjakan pekerjaan rumahan yang ringan lagi mudah seperti menyapu, memberi makan ternak yang kebetulan dipelihara, cuci bak kamar mandi jika sudah terlalu kotor, dan beberapa yang tergolong ringan dan mudah. Lalu pagi ini saya harus menemani Om Gusti memindahkan satu tumpuk pasir sertu? Belum lagi, saya sudah mendengar cerita dari mama dan beberapa orang yang pernah melihat gaya kerja dari sosok yang sering disapa Om Gusti itu. 

"Om Gusti kalo kerja biasanya harus habis memang!". Kata-kata itu semacam batu-batu di tumpukan pasir yang hendak kami pindahkan.  Beberapa kerabat dekat kami sering menyebut Om Gusti sebagai orang gila. Tetapi saya sedikit senang karena mama saya tidak menggunakan panggilan "orang gila",(yang sejak tahun 2016 yang lalu menjadi panggilan yang paling tidak saya sukai) untuk Om Gusti. Ketidaksukaan saya itu pun berkat kegiatan sekelompok relawan yang dipimpin oleh seorang Biarawan Misionaris SVD. Mereka menjadikan orang-orang yang selama ini mendapat stigma orang gila itu menjadi layaknya manusia normal dan dari merekalah saya mengenal istilah Orang Dengan Gangguan Jiwa atau ODGJ. 

Sekilas tentang Om Gusti yang saya kenal, beliau adalah seorang pria berusia sekitar 30-an tahun, kerap berjaket hijau dan tas di punggungnya. Beliau juga yang biasa membeli rokok di kios kami. Gaya berbelanjanya pun terbilang unik di mata saya. Dia hanya berdiri di luar kios, memanggil pemilik kios, memberi uang, memberitahu barang apa yang ingin dibeli, lalu menanti kami mengambilkan untuknya. Dan biasanya dia merupakan orang pertama yang berbelanja tatkala kios baru dibuka pagi hari. Kebiasaan-kebiasaan beliau inilah yang membuat saya cukup hafal semua barang yang sering dibelinya. 

Pagi ini, mama meminta bantuannya untuk memindahkan pasir sertu, dengan bayaran sesuai dengan yang disepakati. Kami berdua mulai bekerja. Tidak ada hal yang kami bicarakan selama bekerja. Saya tetap dengan sikap saya yang pendiam, begitupun beliau yang sangat menghemat kata dan suaranya. Harus saya akui bahwa saya memang belum dan bahkan jarang untuk kerja semacam ini, tetapi sebagai laki-laki satu-satunya di dalam rumah, mau tidak mau saya harus ikut membantu. Dan kali ini saya semacam ditantang untuk bisa menemani Om Gusti dan juga melawan ungkapan, "biasanya dia kerja sampai selesai baru berhenti". 

Hampir satu jam lebih kami bolak-balik. Tapi satu tumpuk pasir itu baru berkurang seperempat. Saya menawarkan agar kami istirahat, tetapi Om Gusti menolak dengan alasan belum selesai. Dalam hati saya menggerutu. Mau protes tapi takut dia berbuat sesuatu yang tidak diinginkan, semisal marah dan melempar kaca jendela. Anjing!! Berarti di dalam kau punya pikiran, kau masih anggap dia"orang gila". Tidak! Kau harus ingat dia itu sama seperti dirimu, manusia. Hanya jiwanya sedang terganggu.

Saya tidak panggil dia orang gila. Bodoh! Katanya mau menghilangkan stigma orang gila di depan keluarga. Lalu kenapa di pikiran saya stigma itu masih ada.  Bangsat! Saya tidak panggil dia orang gila. Ya! Tapi kau masih menganggap dia gila di dalam pikiran kamu. Akhhh! Mereka tidak bisa lihat apa yang saya pikirkan.  Sama saja binatang! Dengan pikiran seperti itu kau akan bersikap seolah-olah dia gila. Setan! Saya tidak panggil dia orang gila. Ya tapi kau merasa badannya bau, jijik, dan seterusnya yang biasa muncul! Itu sama dengan kau tetap menganggap dia gila. 

Bajingan! Saya tidak panggil gila dia. Kau mau saya jelaskan bagaimana lagi? Kalau saya bilang tidak ya tidak! Paham? Saya paham kau tidak panggil dia gila, tetapi di dalam pikiran kau, dia tetap orang gila. Kurang ajar! Kau benar-benar buat saya habis kesabaran. SAYA TIDAK PANGGIL DIA GILA! Kecuali saya sebut dia orang gila. Saya hormati dia sebagai sesama saya. Lihat saja, sebentar pas jam makan kami akan makan semeja. Dengan suguhan lauk pauk yang sama. Itu salah satu dari sekian banyak hal yang akan saya buat sebagai bentuk menghilangkan stigma itu. Hahaha.. 

Kau baru rencana? Kau sudah gagal bahkan sejak dari rencana itu. Mereka di daerah lain sana sudah sampai ditahap buat orang seperti mereka jadi normal, kau baru mau rencana. Apalagi sekarang kalian pakai dia punya tenaga untuk kerja, tanpa dibayar sesuai dengan UMR yang berlaku. Cuihhhh, bertubi-tubi cuihhhhh untuk "rencana" luhur itu. Monyet! Kami sudah sepakat harga dengan dia baru minta dia bantu kerja. Jadi tidak kena dengan peraturan UMR atau segala tetek bengek urusan buruh. 

Kau harus bersyukur karena saya sudah punya niat yang tulus untuk menghialngkan stigma itu. Fuck!! Sekarang kau pakai kata tulus untuk niatmu. Bedebah! Kau tidak lebih kejam dari orang lain yang memanggil dia gila. Karena mereka menempatkan dirinya sesuai dengan statusnya sebagai orang gila. Lalu kau dengan otak gilamu mau mengeluarkan dia dari status yang sudah semestinya dia terima. Kau bajingan yang tak tertolongkan kawan. Lebih baik kau stop kerja dan biarkan dia sendiri yang menyelesaikan pekerjaan itu. Jangan munafik! Bukannya kalian sudah sepakat untuk membayar upahnya?

Cukup mereka yang sedang berjuang di seberang laut sana saja yang menghilangkan kata gila itu. Kau sendiri di sini! Kau tidak punya kekuatan. Salah-salah orang yang bilang kau gila. Akkkhhhhh!! Kau yang keterlaluan. Saya sedikitpun tidak pernah berpikiran seperti itu. Dan kau terlalu berpikir untuk sesuatu yang langsung besar, lalu mengabaikan hal-hal kecil. Kau lupa bahwa sesuatu yang besar itu datangnya dari yang kecil.  Sudahlah kau tidak usah ikut campur dengan rencana dan niat saya ini. 

Toh semua hal yang saya lakukan entah itu baik sekalipun pasti akan ada yang suka dan tidak. Jadi tidak perlu berlagak seperti itu. Dan sekali lagi saya tegaskan SAYA TIDAK PANGGIL DIA GILA! Hahahahahaha. . . boleh saya tertawa sepuasnya mendengar kotbahmu itu? Setidaknya kau sudah bisa jadi pengkotbah yang baik untuk orang-orang gila yang menjadi pendengarmu. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menghilangkan stigma tentang orang gila. Camkan! Kau tidak akan pernah bisa. 

Saya berdebat dengan pikiran saya sendiri. Keterlaluan memang. Serasa saya yang gila. Tapi ada benarnya juga apa yang tadi diperdebatkan. Saya sepertinya belum paham benar cara untuk menghilangkan anggapan saya bahwa Om Gusti itu gila. Lalu saya tidak bisa merubah stigma masyarakat di sini sendirian. Lalu saya harus minta tolong ke siapa lagi?  Ternyata saya terlalu lama berdebat. Saya dikejutkan oleh suara mama yang memanggil saya untuk makan bersama Om Gusti. 

"Om Gusti sudah tunggu dari tadi. Dia tidak mau makan. Dia hanya tunggu kakak saja!" Kata mama saya dengan seutas senyum, entah senyuman ejekan atau merasa bangga bahwa anaknya bisa membuat seorang yang selama ini dianggap gila menjadi seperti normal. Kami bertiga akhirnya makan bersama. Saya dan Om Gusti terlihat akrab. Banyak hal yang dia ceritakan tentang bagaimana dulu dia pernah merantau ke Kalimantan, menjadi pekerja di Kebun Sawit. Saya mendengar dengan seksama. 

Sambil sesekali melemparkan pertanyaan. Cerita kami terhenti karena Om Gusti teringat bahwa pekerjaannya belum selesai. "Om tidak usah angkat lagi. Biar saya yang kasi habis," katanya sambil menuju ke tumpukan pasir. Om Gusti menyuruh saya tidak usah angkat. Saya terpaku. Tidak bisa menjawab. Lalu kembali berdebat lagi dengan pikiran saya, hingga tumpukan pasir itu selesaikan dipindahkan. Mama sudah memberikan bayaran dan terlihat mama memberikan satu kantung plastik yang berisi peralatan mandi dan juga rokok kesukaan Om Gusti. Om Gusti berterima kasih lalu berlalu, tanpa mendengar ucapan terima kasih dari saya.

Malaka, Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun