Mohon tunggu...
Putra Niron
Putra Niron Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat di AMI Malaka dan SASOKA; Owner Kedai NN15

Penikmat Puisi, Penulis Kumpulan Puisi Penyair Bukan Kami; Kami dan Perjamuan Terakhir; dan Mata Cermin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gusti

13 Maret 2023   20:44 Diperbarui: 13 Maret 2023   21:09 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Toh semua hal yang saya lakukan entah itu baik sekalipun pasti akan ada yang suka dan tidak. Jadi tidak perlu berlagak seperti itu. Dan sekali lagi saya tegaskan SAYA TIDAK PANGGIL DIA GILA! Hahahahahaha. . . boleh saya tertawa sepuasnya mendengar kotbahmu itu? Setidaknya kau sudah bisa jadi pengkotbah yang baik untuk orang-orang gila yang menjadi pendengarmu. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menghilangkan stigma tentang orang gila. Camkan! Kau tidak akan pernah bisa. 

Saya berdebat dengan pikiran saya sendiri. Keterlaluan memang. Serasa saya yang gila. Tapi ada benarnya juga apa yang tadi diperdebatkan. Saya sepertinya belum paham benar cara untuk menghilangkan anggapan saya bahwa Om Gusti itu gila. Lalu saya tidak bisa merubah stigma masyarakat di sini sendirian. Lalu saya harus minta tolong ke siapa lagi?  Ternyata saya terlalu lama berdebat. Saya dikejutkan oleh suara mama yang memanggil saya untuk makan bersama Om Gusti. 

"Om Gusti sudah tunggu dari tadi. Dia tidak mau makan. Dia hanya tunggu kakak saja!" Kata mama saya dengan seutas senyum, entah senyuman ejekan atau merasa bangga bahwa anaknya bisa membuat seorang yang selama ini dianggap gila menjadi seperti normal. Kami bertiga akhirnya makan bersama. Saya dan Om Gusti terlihat akrab. Banyak hal yang dia ceritakan tentang bagaimana dulu dia pernah merantau ke Kalimantan, menjadi pekerja di Kebun Sawit. Saya mendengar dengan seksama. 

Sambil sesekali melemparkan pertanyaan. Cerita kami terhenti karena Om Gusti teringat bahwa pekerjaannya belum selesai. "Om tidak usah angkat lagi. Biar saya yang kasi habis," katanya sambil menuju ke tumpukan pasir. Om Gusti menyuruh saya tidak usah angkat. Saya terpaku. Tidak bisa menjawab. Lalu kembali berdebat lagi dengan pikiran saya, hingga tumpukan pasir itu selesaikan dipindahkan. Mama sudah memberikan bayaran dan terlihat mama memberikan satu kantung plastik yang berisi peralatan mandi dan juga rokok kesukaan Om Gusti. Om Gusti berterima kasih lalu berlalu, tanpa mendengar ucapan terima kasih dari saya.

Malaka, Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun