Dalam demokrasi memang ada dua pilihan, yang meraih suara terbanyak akan menang dan yang mendapat suara dukungan lebih sedikit akan kalah. Sikap konsisten seharusnya dimulai dari titik ini. Ketika ada pihak yang menang, tentu tidak dengan jalan kecurangan, pihak yang kalah dengan ikhlas memberi kesempatan yang menang untuk mengatur dan mengelola pemerintahan.Â
Pihak yang kalah bukan berarti kehilangan peran, sebaliknya memosisikan diri sebagai oposisi, berperan sebagai penyeimbang atau kontrol di luar pemerintahan. Melakukan checks and balances. Fungsi oposisi sangat strategis dan bukan sebagai pecundang yang tidak ada nilainya (Kompas.id/19/01/2024)
Berdasarkan pemahaman ideal di atas, muncul pertanyaan apakah dengan adanya oposisi maka pemerintah terhindar dari tindakan korup, otoriter dan abuse of power ? Realitas pelaksanaan pemerintahan pada beberapa periode sebelumnya menjadi tolak ukur untuk menilai apakah oposisi sudah berperan pada jalur yang sesungguhnya.Â
Sejarah Oposisi Dalam Pemilu di Indonesia
Dalam laman DetikNews Tanggal 28/06/2029 dijabarkan bahwa Pada masa awal kemerdekaan, ketika Presiden Sukarno (1945-1967) memimpin, peran oposisi dalam kontestasi politik Indonesia sudah nampak. Kala itu, Partai Masyumi yang dipimpin oleh M Natsir memposisikan dirinya sebagai oposisi pemerintah.
Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), peran oposisi meredup karena dimandulkan. Pasalnya partai oposisi seperti Masyumi dan Partai Murba bikinan Tan Malaka dibubarkan oleh Sukarno. Alhasil, Sukarno pada saat itu dikesankan sebagai rezim otoriter. Namun ini tak berlangsung lama. Karena kontestasi perpolitikan Indonesia berubah ketika tragedi 30 September 1965. Kemudian Soeharto (1967-1998) meneruskan jabatan kepresidenan Soekarno.
Pada masa Orde Baru ternyata peran oposisi juga sama mandulnya dengan masa Orde Lama. Padahal, mulanya tidak sedikt kalangan kritis, mahasiswa, cendikiawan dan juga aktivis prodemokrasi yang menaruh harapan pada Soeharto. Namun, kala itu Soeharto justru mengontrol sejumlah kelompok kritis yang melawan.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Saat itu SBY mengalahkan Megawati. Pada masa kepemimpinan periode pertama, SBY kerap menerima kritik dari partai yang secara tegas memilih menjadi oposisi, yakni PDIP yang dipimpin oleh Megawati. Kebijakan pemerintahan SBY yang menaikkan tarif harga BBM dan Bantuan Langsung Tunai jadi bahan PDIP untuk mengkritik. Peran oposisi PDIP berlanjut ketika SBY kembali terpilih menjadi Presiden pada tahun 2009.
Suara partai oposisi menjadi semakin lantang ketika Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi Presiden tahun 2014. Saat itu Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo yang diusung oleh Gerindra. Bahkan kelompok oposisi ini membentuk koalisi yang menamakan dirinya sebagai Koalisi Merah Putih (KMP). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra menjadi wakil partai koalisi yang paling lantang dan pedas kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Dari mulai kritik soal kebijakan pangan, tarif listrik, hutang negara dan masih banyak lagi. Pada masa pemerintahan Jokowi, partai-partai oposisi tak pernah kehabisan amunisi untuk pemerintah.
Peran oposisi di atas bisa dikatakan sebagai alat kontrol atas pemerintah, namun tidak semua kerja pemerintah dapat dikontrol oleh oposan. Masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah. Partai oposisi buka sebagai alat kontrol utama.
Pelanggaran Yang Pernah Terjadi
Penulis menyoroti pelanggarana yang pernah terjadi selama masa kepemimpinan SBY dan Jokowi. Selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada beberapa kasus dan isu yang berkaitan dengan pelanggaran hukum secara khsus kasus korupsi.Â
Kasus korupsi e-KTP adalah salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia yang terjadi selama masa pemerintahan SBY. Kasus ini melibatkan anggota DPR dan pejabat pemerintah yang diduga terlibat dalam skema korupsi pengadaan e-KTP senilai miliaran rupiah. Â Beberapa nama yang dijerat dalam kasus ini antara lain:Anas Urbaningrum: Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Andi Narogong: Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Setya Novanto: Mantan Ketua DPR RI dan mantan Ketua Umum Partai Golkar
Selain kasus korupsi e-KTP, ada beberapa kasus korupsi lainnya yang melibatkan pejabat pemerintah dan anggota DPR selama masa pemerintahan SBY. Beberapa kasus tersebut antara lain Kasus korupsi dalam pembangunan Wisma Atlet untuk Asian Games yang melibatkan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga; Kasus korupsi bailout Bank Century yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah dan anggota DPR.; dan Kasus korupsi pengadaan tanah dan pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pariwisata di Hambalang, Bogor, yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah dan anggota DPR.
Bahkan selama kepemimpinan Jokowi kasus serupa masih saja terjadi. Ada banyak kasus korupsi dan pelanggaran hukum lainnya pun terjadi di dalamnya.
Kasus-kasus korupsi di atas menunjukkan bahwa masalah korupsi masih menjadi isu serius di Indonesia dan mempengaruhi berbagai sektor, termasuk keuangan negara dan pembangunan. Upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi menjadi hal yang penting untuk meningkatkan integritas dan transparansi pemerintahan di Indonesia. Rata rata pelaku yang terjerat adalah berasal dari partai pendukung pemerintah lantas  mana letak kontrol partai oposan ?
Selain itu ketika para pemerintah menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk melanggengkan  kekuasaan golongannya entah itu dinasti politik ataupun kekuasaan keluarga. Sudah sejauh mana peran partai oposisi ? ada semacam kecemasan ketika partai oposisi yang sifatnya hanya sementara sehingga tidak bisa melakukan kontrol penuh atas pemerintah.
Jalan Tengah Peran Partai Opiosisi
Agar semakin tegas dan jelas partai oposisi dalam menjalankan perannya, berikut beberapa peran yang dapat dimainkan oleh partai oposisi dalam sistem pemerintahan yang koruptif dan oligarkis.
Partai oposisi memiliki fungsi utama untuk mengawasi dan mengkritik kebijakan dan tindakan pemerintah yang dianggap tidak tepat atau merugikan masyarakat. Kritik dan pengawasan dari partai oposisi dapat memaksa pemerintah untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kebijakan yang diambil.Â
Partai oposisi dapat berperan dalam memobilisasi dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik, termasuk melalui pendidikan politik, kampanye publik, dan advokasi hak-hak masyarakat.Â
Partai oposisi dapat menyajikan alternatif kebijakan dan solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah. Alternatif kebijakan dari partai oposisi dapat menjadi referensi dan pilihan bagi masyarakat dalam menilai kinerja pemerintah.Â
Partai oposisi berperan sebagai penjaga demokrasi dengan mengawasi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak asasi manusia. Partai oposisi dapat mengingatkan pemerintah untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil.Â
Dalam sistem pemerintahan yang oligarkis, partai oposisi dapat berperan dalam proses negosiasi dan pembentukan konsensus antara pemerintah dan oposisi dalam mengambil keputusan penting bagi negara. Negosiasi dan konsensus antara pemerintah dan partai oposisi dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan mewakili berbagai kepentingan masyarakat.
Partai oposisi berperan dalam pendidikan politik masyarakat dengan menyediakan informasi dan edukasi tentang sistem politik, hak-hak politik, dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses politik. Pendidikan politik dari partai oposisi dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat dan memperkuat demokrasi.Â
Partai oposisi yang kuat dan efektif dapat menjadi penyeimbang kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H