Etika penyelenggara pemerintahan hari ini menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Persoalan etika birokrat bukan hal yang baru muncul, melainkan sudah menjadi masalah krusial, dan terjadi baik pada pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang merupakan penyelenggara negara.
Dari sisi pengertian, etika merupakan ilmu tentang baik dan buruknya perilaku, hak dan kewajiban moral, sekumpulan asa atau nilai-nilai yang berkaitan dengan akhlak, nilai mengenai benar atau salahnya perbuatan atau perilaku yang dianut masyarakat (Rizsa,2023).
Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti 'watak kesusilaan' atau 'adat'. Etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Jadi, etika ini salah satu tolok ukur dalam menilai tindakan yang berhubungan dengan moralitas, seperti korupsi, susila, dan penyimpangan lain.
Peraturan terkait etika penyelenggaraan negara sendiri sudah sangat lengkap, diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimulai dari UUD NRI 1945; Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; lalu UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; dan UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; UU No 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Kompas.id/09/03/2023).
Ironisnya, ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah dibangun sedemikian rupa, memuat etika pejabat negara, cenderung dilanggar oleh pejabat itu sendiri dengan perbuatan melanggar hukum, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semuanya bermuara pada penyalahgunaan wewenang hingga merugikan keuangan negara.
Lantas menjadi pertanyaan mengapa etika penyelenggaraan negara itu penting ? lalu bagaimana tantangan yang dihadapkan bangsa saat ini ?
Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi menjadi salah satu momok bagi berkembangnya konsep penyelenggaraan pemerintahan. Eko Prasojo, 2022 menerangkan bahwa terdapat 175 penyakit birokrasi. Negara dihadapkan pada tantangan dalam mempertahankan tuntutan perubahan. Ada dua pendekatan yang dapat mendiagnosis patologi birokrasi dalam negara.
Pertama pendekatan ekologis. Pendekatan ini dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal hadir karena sistem sosial dan budaya
masyarakat, intervensi politik dan ekonomi. Sedangkan faktor internal dikarenakan oleh kepemimpinan, manajemen, struktur, strategi, budaya organisasi.
Kedua pendekatan patologis. Pendekatan ini membedakan patologi birokrasi dalam tiga bentuk yakni. Pertama penyakit akut, penyakit birokrasi ini Membunuh organisasi secara tiba-tiba, layaknya serangan jantung dan hipertensi. Dalam penyelenggaraan  pemerintahan bisa ditemukan seperti  Korupsi merajalela, melawan hukum sebagai hal biasa.
Kedua Penyakit Kronis, patologi ini disebabkan masalah yang lebih lama, namun tak membunuh organisasi. Organisasi sering tak berbuat apa pun untuk menangani jenis penyakit ini, membiarkannya "tumbuh" dapat mematikan organisasi tatkala situasi bertambah buruk. Ketiga, Kelainan Kepribadian, penyakit birokrasi ini Memungkinkan organisasi
hidup normal, tetapi terasa sakit. Situasi tersebut  justru "dianggap menghibur". Contoh: melakukan sesuatu pelanggaran hukum, etika dan integritas sebagai hal biasa.
Penyakit negara Indonesia yang merusak tatanan etika birokrasi adalah oligarki. Oligarki melahirkan shadow government dan melumpuhkan peran masyarakat. Sistem politik tanpa ideologi dan kaderisasi " korupsi politik", penegakan hukum yang lemah "korupsi hukum" dan budaya kekuasaan birokrasi "korupsi birokrasi" menjadikan sistem budaya dan etika melemah dalam pemerintahan.
Untuk mengatasi patologi birokrasi tersebut maka dalam penyelenggaraan negara etika sangat penting untuk diterapkan. Penyelenggaraan negara yang beretika maka akan meningkatnya image dan trust publik, mengurangi perilaku KKN, meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial, meningkatnya kinerja individu, meningkatnya kepuasan dan motivasi serta meningkatnya prinsip rule of law.
Urgensi Etika Dalam Pemerintahan
Etika dalam pemerintahan adalah kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada pejabat publik digunakan dengan bertanggung jawab dan adil demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Etika membantu memastikan bahwa para pemimpin pemerintahan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Hal ini penting agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan membentuk dasar yang kuat untuk penegakan hukum yang adil.
Pemerintah bertanggung jawab atas kepentingan publik. Etika membantu memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintahan didasarkan pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Etika memainkan peran penting dalam membangun kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika para pemimpin pemerintahan bertindak dengan integritas dan transparansi, hal ini membantu memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Etika membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintahan. Dengan memiliki prinsip-prinsip moral yang kuat, pejabat pemerintahan akan lebih cenderung untuk menggunakan kekuasaan mereka dengan bijaksana dan sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Etika dalam pemerintahan dapat membantu menjaga stabilitas politik dan sosial. Ketika keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang kuat, hal ini dapat mengurangi konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
Para pemimpin pemerintahan sering kali dianggap sebagai teladan bagi masyarakat. Etika yang kuat dari para pemimpin dapat menjadi contoh bagi warga negara lainnya, memperkuat nilai-nilai moral dalam masyarakat secara keseluruhan.
Hal yang menjadi tantangan besar dalam etika penyelenggaraan pemerintahan saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih merajalela; etos dan budaya kerja melayani yang masih rendah; moral yang rusak; gaji yang tidak memadai; komitmen dan dukungan etika yang rendah dan; intervensi politik dalam birokrasi.
Mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan komitmen yang kuat untuk integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan, serta adopsi kebijakan dan mekanisme penegakan hukum yang efektif untuk mencegah pelanggaran etika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H