Mohon tunggu...
Gunawan S. Pati
Gunawan S. Pati Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Penikmat buku dan pengamat pendidikan dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Usaha Rumahan Pakai Manajemen Tukang Cukur, Mengapa Tidak?

13 Agustus 2021   13:42 Diperbarui: 21 Agustus 2021   17:01 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian Kompasianer pasti tahu tukang cukur kecil-kecilan yang mangkal di pinggir jalan,biasanya ukuran kiosnya sekitar 3 x 2 meter, bukan barbershop lho? 

Sebagai tukang cukur, dia mengerjakan semuanya, mulai menerima pelanggan, mempersilahkan duduk, memotong, menerima uang jasa cukur, membersihkan kios dan menutup kios. 

Semua pekerjaan dikerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Orang sering mengatakan jika dalam bisnis semua dikerjakan sendiri disebut manajemen tukang cukur.

Biasanya manajemen tukang cukur sering digunakan pengajar untuk mengkontraskan cara mengelola usaha dengan manajemen modern dan manajemen tradisional. 

Tidak sedikit usaha rumahan yang menggunakan menejemen tukang cukur akibat modal kecil dan belum saatnya mampu membayar orang lain.

Tentang usaha rumahan dengan manajemen tukang cukur pernah saya lakukan ketika sudah beberapa tahun jadi guru sekitar tahun 1985. 

Pada waktu itu masih ada Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang sekarang sudah dihapus pemerintah. Pemerintah tidak menerbitkan buku pelajaran, buku yang ada terbitan swasta itupun jumlahnya terbatas.

Guru sering kehabisan materi menjelang EBTANAS sehingga meminta siswa mencatat materi soal-soal di papan tulis jasa fotocopy belum begitu banyak pada waktu itu.

Melihat sebagian proses pembelajaran digunakan mencatat soal-soal EBTANAS, pada waktu itu saya terpikir akan menyusul soal-soal  untuk latihan siswa dan diketik serta diperbanyak dengan mesin sheet manual.

Proses pembuatannya cukup lama, mulai mengetik dengan mesin ketik manual di kertas sheet yang bisanya berwarna kuning dan jika ada salah ketik semakin rumit membetulkannya.

Setelah pengetikan soal selesai proses pencetakkan dimulai dengan mesin sheet manual dan dijilid satu persatu. Pada waktu itu disebut buku stensilan. Proses pembuatan buku latihan soal EBTANAS difaslitasi oleh sekolah dan dilakukan pada sore hari setelah sekolah selesai.

Kebiasaan pembelajaran kelas 3 SMP (sekarang kelas 9) pada waktu dulu menyelesaikan materi setelah itu latihan soal-soal untuk menghadapi EBTANAS. 

Dengan adanya buku latihan soal-soal siswa tidak perlu mencatat soal lagi, siswa hanya mengganti biaya pembelian kertas dan tinta saja. Waktu tahun 1980-an memang sudah biasa siswa diminta guru mencatat di papan tulis pakai kapur, belum ada whiteboard dan boardmarker.

Ilustrasi usaha rumahan (Sumber:freepik)
Ilustrasi usaha rumahan (Sumber:freepik)

Ketika siswa yang piket menghapus tulisan di papan tulis debu kapur bertebangan kemana-mana. Ternyata menggunakan buku latihan soal lebih praktis dan harganya tidak mahal serta beberapa sekolah tahu manfaat buku tersebut juga ikut membeli terutama sekolah-sekolah terdekat.

Setelah mengetahui manfaat dari buku tersebut, banyak guru pesan buku untuk siswanya agar bisa latihan mengerjakan soal-soal dan ketika EBTANAS sudah siap, tentunya saja ingin siswanya mendapat nilai yang baik.

Banyaknya pesanan buku latihan soal-soal bahasa Inggris pada waktu itu membuat saya berpikir untuk menyerahkan saja ke penerbitan buku tetapi tidak jadi karena beberapa pertimbangan. 

Akhirnya penerbitan buku saya kelola sendiri dengan manajemen ala tukang cukur karena keterbatasan modal. Langkah-langkah yang saya kerjakan pada waktu itu adalah sebagai berikut.

Pertama, membaca naskah soal-soal EBTANAS lama dan menganalisisnya untuk membuat soal-soal sejenis dengan tingkat kesulitan yang bervariasi. 

Pada waktu itu setelah berakhir EBTANAS semua naskah soal harus dimusnahkan dan biasanya dibakar serta disertai berita acara pemusnahan naskah.

Sekolah biasanya ambil hanya beberapa naskah EBTANAS setiap mata pelajaran untuk arsip dan dokumen guru. Setelah draft naskah yang ditulis tangan di buku diperiksa dan disesuaikan dengan materi kurikulum sudah siap diketik.

Kedua, Karena akan dicetak maka pengetikan menggunakan komputer tapi masih menggunakan program Worsdstar belum ada program Ms.Word pada waktu itu. Semua saya kerjakan sendiri mulai analisis soal EBTANAS lama, draft naskah, pengetikan, koreksi dan penyelarasan/editing.

Jika editing diserahkan pada penerbit masih juga banyak yang salah karena materi bahasa Inggris. Maklum guru muda dan tidak punya modal yang dimiliki hanya modal semangat agar bisa membantu siswa mendapat nilai EBTANAS yang tinggi.

Ketiga, jumlah pesanan buku soal-soal bahasa Inggris cukup banyak memang perlu dicetak agar lebih rapi dan layak dijual, sebelumnya hanya buku stensilan hanya layak untuk lingkungan sekolah sendiri.

Berawal dari buku stensilan ternyata banyak pemesannya hampir seluruh sekolah di kabupaten. 

Saya mengakui buku tersesebut banyak pemesannya karena pada waktu itu belum ada buku yang membahas soal-soal EBTANAS dan belum begitu banyak penerbit yang tertarik. Pemasarannya hanya lewat word of mouth atau pemasaran dari mulut ke mulut belum ada handphone (HP) saat itu.

Keempat, setelah proses cetak buku selesai, saya sendiri yang mengantar pesanan buku ke sekolah-sekolah di seluruh kabupaten dengan menggunakan sepeda motor. Pengiriman buku-buku dilakukan pada waktu sore hari setelah selesai mengajar dan ke rumah guru-guru pemesan buku.

Dengan demikian, saya bisa silahturokhim ke rumah teman-teman guru sekaligus mengantar pemesanan. Semua ini dilakukan dengan senang hati sebab tanpa beban saya anggap traveling saja pada waktu itu.

Para guru selalu memberitahu kalau uang dari siswa sudah terkumpul, saya juga langsung berkunjung ke rumahnya untuk mengambil uang pembayaran buku.

Usaha rumahan ini saya lakukan beberapa tahun hanya berbekal semangat dan kepercayaan para guru meski menggunakan manajemen tukang cukur.

Setelah terbentuk musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan organisasi tersebut cukup mampu menyusun buku, akhirnya kegiatan tersebut dilanjutkan organisasi, meskipun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS).

Semoga bermanfaat
Pati, 13 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun